Menghadirkan Ikhlas dalam Beribadah

Oleh: Afrizal Sofyan, S.PdI, M.Ag Anggota MPU Aceh Besar

Kabarnanggroe.com, Menghadirkan ikhlas dalam beribadah bukanlah perkara yang mudah, seperti pengakuan Sufyan At Tsauri rahimahullah , “Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagiku melebihi masalah niatku, karena ia mudah berbolak balik.” (Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (I/17). Atau Yusuf bin Husain rahimahullah yang mengatakan, “Sesuatu yang paling susah bagiku di dunia ini adalah keikhlasan. Berapa kali aku bersungguh-sungguh untuk menghilangkannya dari hatiku, namun seakan-akan dia tumbuh kembali dengan corak yang lain”. (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (I/70).

Meskipun begitu, bukan berarti ikhlas tidak bisa dihadirkan. Bermujahadah, menggerakan semua daya dan upaya untuk mendapatkannya tetap menjadi keharusan. Bukankah pahala itu sesuai dengan kesusahan dalam beramal.

Syekh Muhammad Sholeh al Munajjid menjelaskan beberapa usaha untuk menghadirkan ikhlas dalam beribadah, pertama, yang harus dilakukan adalah senantiasa menghadirkan kebesaran Allah Swt dalam diri, takut terhadap siksaan-Nya dan merasa malu kepadaNya.

Kedua, selalu meminta kepada Allah Swt agar diberikan keikhlasan, karena sesungguhnya semua kebaikan seorang hamba merupakan taufik dari Allah Swt. Manusia tidaklah memiliki daya dan upaya untuk beramal kecuali jika disertai dengan taufik dariNya. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw, “Ya Allah, yang mengubah kalbu-kalbu (manusia), jadikan kalbu kami ada dalam ketaatan kepada-Mu.” (HR Muslim nomor 2654)

Ketiga, berjuang melawan hawa nafsu. Allah Swt berfirman,“Dan orang-orang yang berjihad (berjuang) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS al-Ankabut: 69).

Imam Asy-Syaukani berkata tentang tafsir ayat di atas, “Berjuang dalam urusan Allah untuk mencari ridha-Nya dan mengharapkan kebaikan yang ada di sisi-Nya.” (Fathul Qadir)

Rasulullah saw bersabda, “Pejuang adalah orang yang berjuang melawan hawa nafsunya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Fadhalah bin Ubaid radhiallahu anhu)

Keempat, muhasabah atau introspeksi diri. Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr: 18)

Dalam hal mengevaluasi diri, sebaiknya selalu menanyakan dirinya sebelum, ketika, dan setelah beramal. Sebelum memulai, berhentilah sejenak, tanyakan kepada jiwanya, apa yang kita ingingkan dengan amalan ini? Jika yang diinginkannya adalah ridha Allah, atau pahala dari Allah Swt, maka hendaklah meneruskan amalannya.

Namun sebaliknya, jika ternyata yang diinginkan hal lain selain Allah Swt, maka hendaknya seseorang tidak melanjutkan amalannya sampai meluruskan niatnya. Ketika sedang beramal pun tetaplah melihat hati kita, jangan sampai berubah niatnya. Jika kemudian muncul niat lain selain Allah Swt, maka segera palingkan kepada Allah Swt.

Begitu juga setelah beramal. Jangan sampai muncul keinginan untuk diketahui oleh manusia, hingga kemudian menceritakan amalannya sambil berharap pujian dari mereka.

Kelima, mengerjakan ibadah secara diam-diam Allah Swt berfirman,“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS al-A’raf: 55)

Hal ini berlaku untuk ibadah-ibadah yang memang dianjurkan agar dilakukan secara diam-diam. Kemudian juga hendaklah tidak bangga dengan amalannya. Tidak takjub dengan dirinya sendiri. Karena, sesungguhnya ketika seseorang merasa takjub dengan dirinya sendiri, ketika itu dia sedang menyekutukan Allah Swt dengan dirinya sendiri dan membuka peluang dirinya untuk menceritakan atau menampakkan kepada yang lain.

Keenam, memperbanyak ketaatan juga merupakan salah satu cara menghasilkan ikhlas. Karena syaitan akan selalu berusaha agar seorang hamba meninggalkan ketaatan atau berusaha merusak amalan yang dilakukan oleh seorang hamba. Jika kemudian syaitan melihat seorang hamba senantia berada dalam ketaatan dan tidak menghiraukan ajakan syaitan, bahkan setiap kali syaitan membisiki seorang hamba, namun justru hamba tadi bertambah ketaatan dan keikhlasannya. Syaitan pun akan putus asa dan berhenti menggoda hamba agar tidak menambah pahalanya.

Namun jika seorang hamba terkadang taat, namun terkadang juga berbuat maksiat dengan menyambut ajaran syaitan, maka syaitan akan semakin bersemangat menggoda hamba tadi, begitu kata Hasan Al Bashri.

Ketujuh, hendaknya seorang hamba selalu bergaul dan berkumpul dengan orang orang yang ikhlas. Dengan harapan bisa berqudwah dan mengikuti mereka dalam keikhlasan. Bukankah seseorang akan berada dalam agama teman dekatnya, sehingga jika kita ingin melihat agama seseorang cukup dengan melihat agama teman dekatnya, sebagaimana wasiat sang baginda Rasulullah saw? Maka pilihlah kawan yang baik, kita pun akan menjadi baik dengan izin Allah Swt.

Mudah mudahan Allah Swt memberikan rahmat dan taufikNya kepada kita, agar senantiasa diberikan keikhlasan dalam beribadah, karena sesungguhnya tidak ada keselamatan, kecuali dengan keikhlasan.