Kabarnanggroe.com, Banda Aceh — Dalam rangka memajukan sektor destinasi ekowisata, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Aceh menggelar pertemuan dengan komunitas/lembaga pecinta alam dan pegiat ekowisata yang ada di Banda Aceh dan Aceh Besar, di History Cafe, Komplek Museum Aceh, Senin (24/10/2022).
Pertemuan berlangsung akrab, peserta yang hadir menyampaikan masukan hingga penjabaran soal potensi destinasi ekowisata yang bisa dikembangkan.
Kadisbudpar Aceh, Almuniza Kamal mengatakan, pertemuan itu bertujuan untuk menjaring informasi dan masukan terkait persoalan yang dihadapi oleh pegiat ekowisata maupun mahasiswa pecinta alam (Mapala) yang menjadi ujung tombak dalam pengembangan ekowisata di Aceh.
“Destinasi begitu hebat di Aceh dengan kekuatan alamnya yang mungkin tidak dimiliki daerah lain. Lewat pengembangan ekowisata ini justru membuka peluang lain agar orang datang ke Aceh, tentunya dengan tata nilai yang berbeda,” kata Almuniza.
Menurutnya, perlu ada kolaborasi terkait pengembangan ekowisata di Aceh dengan melibatkan semua komunitas yang berkecimpung di dunia tersebut, agar inovasi yang nantinya dijalankan bisa sesuai.
Dalam pertemuan itu, Almuniza juga mencatat semua masukan yang disampaikan oleh peserta, mulai dari sertifikasi pemandu wisata petualangan hingga perencanaan pembuatan masterplan khusus untuk destinasi ekowisata di Aceh.
“Semuanya harus kolaborasi, tanpa inovasi dan adaptasi itu sama juga nol. Bagaimana kita mengemas produk ini sehingga berdaya nilai jual tinggi,” ujarnya.
Untuk itu, Almuniza berharap kepada pegiat ekowisata hingga lembaga Mapala berperan dalam proses tersebut. Kemudian ia meminta agar semua komunitas itu bisa menginventarisir persoalan yang ada di masing-masing lokasi ekowisata yang memang punya potensi untuk dikembangkan.
Setelah pendataan itu rampung nantinya akan dibawa ke forum yang lebih besar lagi hingga menghasilkan output berupa dokumen pengembangan ekowisata yang jadi panduang bersama.
“Dari hasil FGD nanti, outpunya sebuah dokumen yang jadi rujukan kita bersama. Saya ingin masifkan ekowisata menjadi salah satu ikon pariwisata di Aceh sebagaimana tagline kita ‘Lestarikan Budaya, Majukan Pariwisata’,” ujar Almuniza.
Almuniza menyarankan kepada para peserta diskusi untuk memilih dua atau tiga destinasi yang akan dijadikan pilot project dalam membangun destasi wisata petualang.
“Kita ambil beberapa lokasi untuk dijadikan pilot project, namun bukan berarti tempat lain kita abaikan,” ucapnya.
Sementara itu, pegiat ekowisata dari Gudang Petualang, E.D. Kesuma Darmi menyampaikan, bahwa pengembangan ekowisata harus memiliki program jangka panjang. Dengan begitu, pengembangan yang dilakukan bisa terukur.
Disamping itu, ia juga menyinggung soal sertifikasi pemandu wisata petualang yang sangat minim di Aceh.
Menurutnya, jika pemandu tidak memiliki sertifikasi akan sulit menjual potensi wisata adventure di Tanah Rencong. Sebab, ini berbicara soal risiko-risiko yang bisa saja terjadi terhadap wisatawan.
“Berbicara soal ekowisata ini berbicara soal bagaimana kita membuat jangka panjang. Membuat sertifikasi pemandu wisata petualang misalnya, tanpa itu kita agak sulit menjual potensi wisata di Aceh. Harus ada standar-standar yang bisa meminimalisir risiko,” ucapnya.
Pertemuan itu turut diikuti Kabid Pengembangan Destinasi Disbudpar Aceh, Munawir Arifin, perwakilan kantor Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Mapala Gainpala, Mapala Caniva, Mapala SMAK, Mapala Leuser, Mapala Metalik, Hiwapatala Aceh, Mapala Pandayana, Wahana Lestari adventure, FMI-Aceh, FPTI-Aceh Besar, Kahawa Adventure, dan Mapala Stik Pante Kulu. (Muiz/Rel)