Kabarnanggroe.com, Banda Aceh — Biasanya, jurnalis hadir untuk mendengarkan, mencatat, dan menyampaikan informasi bagi publik. Namun pagi, Selasa (4/11/2025) mendatang, mereka duduk sebagai peserta. Di sebuah sudut Kupi Nanggroe, Simpang Surabaya Banda Aceh, belasan hingga puluhan awak media berkumpul bukan untuk mengejar narasumber, melainkan mendengarkan uraian panjang tentang zakat—sebuah kewajiban yang kerap dibahas, tetapi tidak selalu dipahami secara mendalam.
Secangkir kopi hangat bakal menandai awal pertemuan yang berbeda dari biasanya. Sosialisasi bertajuk “Zakat Mal untuk Kalangan Jurnalis” itu menjadi ajang bertukar perspektif antara pengelola zakat, akademisi, dan insan pers. Kegiatan ini digagas oleh Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh dan Baitul Mal Aceh sebagai bagian dari ikhtiar memperkuat pemahaman publik terhadap zakat melalui pintu informasi.
Ketua SMSI Aceh, Aldin NL, kepada awak media, Minggu (02/11), di Banda Aceh menyampaikan betapa pentingnya jurnalis memiliki pemahaman yang benar mengenai zakat.
“Kami percaya dengan pengetahuan yang kuat, jurnalis dapat menjadi jembatan informasi yang mencerahkan. Zakat bukan hanya urusan individu, tetapi juga penopang kesejahteraan bersama,” ujarnya.
Zakat: Masih Sering Salah Kaprah
Meski menjadi salah satu rukun Islam, zakat—khususnya zakat mal—sering kali dipahami secara sepintas. Banyak yang masih bingung bagaimana mengukur nisab, menghitung kadar zakat, hingga menyalurkannya ke pihak yang berhak. Hal ini pula yang menjadi latar belakang kegiatan tersebut.
Menurut, Aldin NL, Baitul Mal Aceh memandang peran media sangat strategis dalam memperluas pengetahuan ini. Sebagai pengelola zakat di Aceh, lembaga itu berupaya memperkuat sinergi bersama insan pers agar literasi zakat dapat menjangkau publik yang lebih luas.
Dalam kesempatan itu, bakal hadir dua narasumber guna membentangkan cakrawala peserta. Ketua Baitul Mal Aceh, Mohammad Haikal, ST., MIFP., berbicara tentang urgensi zakat dalam pembangunan ekonomi umat. Sebelumnya kepada media ini, Ia menegaskan bahwa zakat bukan sekadar ritual ibadah, tetapi juga sistem sosial yang memiliki kekuatan besar untuk mengurangi ketimpangan.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Filsafat Islam, Prof. Dr. H. Syamsul Rijal, B.A., M.Ag., yang diminta menjadi nara sumber, pihaknya bakal mengajak peserta melihat zakat dalam bingkai keilmuan yang lebih luas. Dengan gaya tutur yang teduh, Profesor kelahiran Perapat Hulu (Aceh Tenggara), 30 September 1963 ini, bakal menguraikan mekanisme penghitungan zakat mal, serta bagaimana asas keadilan dan manfaat menjadi inti dari pelaksanaannya.
Menumbuhkan Kesadaran, Merajut Kolaborasi
Diperkirakan Diskusi berlangsung hangat. Para jurnalis bakal melontarkan berbagai pertanyaan yang lahir dari kegelisahan sehari-hari:
Bagaimana menunaikan zakat bagi pekerja sektor informal?
Apa hukumnya zakat dalam bentuk aset digital?
Bagaimana memastikan zakat sampai kepada mustahik yang tepat?
Pertanyaan-pertanyaan itu nantinya akan membuktikan bahwa zakat masih menyimpan ruang belajar yang luas. Kesadaran inilah yang ingin dibangun oleh panitia kegiatan.
Ketua panitia, Hamdan Budiman, menyebutkan bahwa kegiatan ini nantinya bukan hanya ajang berbagi ilmu, tetapi juga momentum membangun jejaring antara jurnalis dan Baitul Mal Aceh.
“Kita ingin zakat dipahami bukan hanya sebatas kewajiban personal, tetapi juga sebagai energi kolektif yang dapat membawa perubahan,” ungkapnya.
Makan Siang dan Percakapan yang Tak Selesai
Kegiatan bakal ditutup dengan makan siang bersama, namun percakapan tentang zakat tidak berhenti di sana, sepertinya, Di antara suapan makan siang, obrolan para peserta bakal mengalir santai—tentang wakaf, tentang potensi zakat digital, hingga soal bagaimana media dapat menyajikan informasi yang lebih membumi.
Kehadiran para jurnalis muda anggota SMSI Aceh, nantinya akan tampak satu hal: ada semangat untuk terus belajar dan berbagi.
Kegiatan ini diharapkan nantinya tidak berakhir sebagai seremonial belaka. Lebih dari itu, ia menjadi langkah kecil menuju perubahan besar—ketika jurnalis bukan hanya pelapor, tetapi juga penggerak pengetahuan, menanamkan kembali makna zakat sebagai sumber keberkahan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh.(Sdm/*)






