Menjelang Ramadhan Rindu Kampung Halaman Tempatku Dilahirkan

Kabarnanggroe.com, Di desa nan jauh dari hiruk pikuk perkotaan, di sebuah kampung kecil nan indah semilir angin berhembus sepoi-sepoi. Kampung itu bernama Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara. Di desa itulah Aku dilahirkan pada 10 Mai 1979, dari seorang ibu bernama Ummi Manauyah dan ayahku bernama Tgk. Ibrahim Pmtoh seorang seniman hikayat Aceh. Di desa yang sejuk dikelilingi sawah membentang dan alami ini Aku banyak menyimpan kenangan masa kecil.

Di desa ini Aku sejak usia dini belajar membaca Al-Qur’an kepada nenekku Hj. Anduwah dan kakekku Tgk. Budiman Musa seorang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI. Di kampung Paya Bili juga Aku sekolah SD, lalu di SMPN 1 Meurah Mulia di Kuta Bate desa tetangga Jungka Gajah, dan melanjutkan SMAN 1 Samudra Geudong di kota kecil daerah jejak Kerajaan Islam Samudra Pasai, Kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Aku tak bisa melupakan bayangan kenangan masa kecilku shalat tarawih bersama Tgk. Sulaiman imam meunasah, yang sering kami panggil Abi. Kadang kala imamnya Tgk. Erwin Ilyas imam cilik yang sudah alim sejak remaja. Aku hanya bertindak sebagai muazzin jika bilal berhalangan hadir.

“Ayo kita mengaji di meunasah,” seru Tgk. Amir yang kini menjadi salah seorang guru di sebuah madrasah.

Senda gurau bersama teman-teman masa kecil masih melekat dalam ingatanku sampai sekarang. Kami hampir saban hari buka puasa bersama di meunasah (surau).

Tahun 1998 Aku berangkat ke ibu kota provinsi, Banda Aceh, kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Syiah Kuala. Setelah wisuda tahun 2003 Aku kembali ke kampung. Beberapa tahun Aku tinggal di kampung sambil menjadi guru di beberapa sekolah. Akhir bulan Desember 2007 Aku meminang seorang gadis bernama Sri Wahyuni SY dan kami menikah. Sampai hari ini Aku tinggal di kampung isteriku, desa Sumbok Rayeuk, Kec. Nibong, Kab. Aceh Utara.

Setiap menjelang ramadhan Aku selalu merindukan Ibuku, teringat kampung halaman tempat Aku dibesarkan. Kadang kala terkenang di jiwaku senyum si Nazar teman satu SD dan kawan satu balai pengajian. Kadang teringat si Zulkarnaini teman seperjuangan persatuan sepak bola clup bola kaki tim anak-anak.

Di jendela jiwaku kadang terkenang sawah nenekku yang sedang menguning. Aku sering dapat tugas kumit tuloe (mengusir burung pipit). Aku sering tertidur di rangkang blang (dangau), karena sejuknya angin yang berhembus membelai wajah luguku saat itu. Nenekku sering membangunkan Aku yang tertidur di rangkang blang.

Ada sedikit lagi ceritaku, rupanya Aku dulu sering menabuh bedug (peh tambo) membangun insan terpilih makan sahur.

Aku juga waktu itu menabung uang di celeng yang terbuat dari pohon bambu, sebagai bekal uang di hari raya. Wajah bibiku yang Aku panggil Mak A dan pamanku yang Aku panggil Pak A sering muncul dan terbayang saat menjelang bulan suci Ramadhan. Aku sering datang menonton TV ke rumah bibiku untuk menghibur diri. Jika hari raya tiba anak-anak senang dan riang, banyak dapat uang dari sanak kerabat saat berkunjung.

Ibu dan bibiku setiap menjelang hari raya Idul Fitri sibuk menumbuk tepung dengan jeungki, sejenis alat teknik penumbuk tepung tradisional made in Aceh. Kue-kue tradisional pun dibuatkan seperti keukarah, nyap, dan timphan untuk dihidangkan kepada tamu yang berkunjung di hari raya.

Ada 1001 kenangan yang tak mungkin Aku ceritakan semua. Kisah remajaku yang penuh suka dan duka. Kini 19 tahun sudah lebih kurang menjadi guru di berbagai sekolah, semoga melahirkan murid-muridku yang berguna bagi agama Islam, nusa, dan bangsa. Salam cinta untuk Ibu dan Ayahku, untuk guruku, dan teman-teman semua.

Penulis : Hamdani Mulya
Otobiografi Singkat
Catatan : Dulu meunasah ini terbuat dari kayu dan papan, sekarang sudah direnovasi menjadi permanen.

Paya Bili-Sumbok Rayeuk, 16 Maret 2023