Tokoh Masyarakat Lampuuk Khawatir Pembangunan PLTB Ancam Kelestarian Hutan Adat

Tokoh Masyarakat Lampuuk, Khairuddin (Bang Agam), menyampaikan kekhawatirannya terkait rencana pembangunan PLTB, di kedai kopi kawasan Banda Aceh, Selasa (24/6/2025) sore. FOTO/ WAHYU

Kabarnanggroe.com, Banda Aceh – Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang direncanakan di kawasan hutan seluas 2.874 hektar di wilayah Mukim Lampuuk dan Lamlhom, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, menuai kekhawatiran dari masyarakat setempat. Pasalnya, wilayah tersebut selama ini dikenal sebagai hutan adat yang telah dijaga dan dirawat secara turun-temurun oleh masyarakat.

“Kami sangat khawatir, jika rencana pembangunan kincir angin ini tetap dilanjutkan, maka akan merusak hutan yang selama ini kami jaga. Hutan itu bukan hanya menjaga keseimbangan air, tapi juga melindungi dari terjangan angin barat. Kalau rusak, bisa terjadi banjir, kekeringan, bahkan hewan-hewan pun akan bermigrasi karena habitat mereka hilang,” ujar tokoh masyarakat Lampuuk, Khairuddin atau yang akrab disapa Bang Agam, dalam agenda sharing dan diskusi bersama insan pers, di kedai kopi kawasan Banda Aceh, Selasa (24/6/2025) sore.

Dalam agenda yang difasilitasi oleh Solidaritas Perempuan (SP) Aceh tersebut, Bang Agam juga menyoroti potensi dampak lain dari proyek tersebut, seperti kerusakan jalan akibat kendaraan berat yang akan digunakan selama proses pembangunan PLTB. Tak hanya itu, menurutnya, jika hutan Lampuuk dan sekitarnya dihancurkan, maka kawasan lain termasuk Banda Aceh akan ikut terdampak oleh angin kencang yang selama ini tertahan oleh vegetasi lebat di sana.

“Hutan ini bukan hanya penting untuk Lampuuk, Lamlhom, atau Peukan Bada saja. Kalau ini hancur, Banda Aceh juga bisa kena imbasnya. Angin barat akan langsung menerpa tanpa penghalang. Ini sangat berbahaya,” imbuhnya.

Suasana diskusi dan sharing yang digelar SP Aceh di kedai kopi kawasan Banda Aceh, Selasa (24/6/2025) sore. FOTO/ WAHYU

Lebih lanjut, Bang Agam mengungkapkan bahwa hutan yang saat ini tengah diajukan untuk dihapus dari status hutan lindung tersebut sejatinya merupakan hutan adat milik masyarakat. Hingga saat ini, lahan tersebut masih aktif digarap dan menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat.

“Ini hutan adat kami, bukan tanah kosong. Sudah sejak dulu kami rawat dan kelola. Sekarang malah diajukan untuk dihapus status lindungnya, agar proyek PLTB bisa jalan. Ini sangat merugikan kami,” tegasnya.

Diskusi tersebut merupakan bagian dari upaya SP Aceh untuk memperkuat suara masyarakat adat, terutama perempuan, dalam menghadapi dampak pembangunan yang berpotensi merugikan lingkungan dan kehidupan sosial.(Wahyu)