Sekum HMI Pertanian Mempertanyakan: Apakah Latihan Militer di langit Aceh yang bersamaan dengan Sengketa Tanah Masjid Raya terjadi Hanya Kebetulan?

Oleh: Aqnaidil Adha Sinambela – Sekretaris Umum HMI Komisariat Pertanian

Kabarnanggroe.com, Banda Aceh — Beberapa hari terakhir, masyarakat Aceh menjadi saksi dua peristiwa yang muncul hampir bersamaan dan sama-sama menyentuh ruang batin publik: deru empat pesawat tempur F 16 dari Skadron Udara 16, yang lepas landas dari Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru dan melakukan bermarkas sementara di Lanud Sultan Iskandar Muda, dalam rangka Latihan Cakra C Kosek I Medan sejak 30 Juni hingga 3 Juli 2025, serta munculnya kembali polemik mengenai status lahan Masjid Raya Baiturrahman—pusat spiritual dan simbol identitas sejarah rakyat Aceh. Pihak TNI AU menyebut kegiatan tersebut sebagai agenda rutin untuk meningkatkan kesiapsiagaan pertahanan nasional, termasuk latihan “force down” atau skadron movement.

Namun, di tengah suasana publik Aceh yang tengah sensitif terhadap klaim tanah wakaf masjid, masyarakat wajar bertanya: apakah momentum latihan udara ini benar benar kebetulan, atau justru menciptakan tekanan simbolik di tengah konflik budaya dan sosial yang belum tuntas?

Sebagai bagian dari masyarakat sipil, kami menghormati otoritas pertahanan negara. Namun, kami juga merasa perlu bertanya: mengapa latihan militer udara dilakukan bersamaan dengan merebaknya kembali isu sensitif mengenai lahan Masjid Raya? Jika ini murni kebetulan, maka diperlukan komunikasi terbuka dari negara agar tidak muncul tafsir yang berlebihan dan mengarah pada kecurigaan publik. Masjid Raya Baiturrahman bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol perlawanan, keteguhan sejarah, dan identitas rakyat Aceh. Maka, ketika tanahnya disengketakan, lalu langit di atasnya dipenuhi dengan suara jet tempur, apakah masyarakat salah jika menilai waktu terjadinya kedua peristiwa tersebut terlalu “tepat” untuk dianggap tidak saling terkait?

Dalam konteks global, sejarah telah menunjukkan bahwa latihan militer di wilayah-wilayah tertentu kerap menimbulkan tafsir politis dan tekanan psikologis, meskipun diklaim sebagai kegiatan rutin. Kita dapat belajar dari sejumlah peristiwa serupa. Misalnya, menjelang invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, Rusia menggelar latihan militer besar-besaran di wilayah perbatasan. Meski disebut sebagai latihan reguler, kehadiran pasukan dan alutsista tersebut justru ditafsirkan sebagai bentuk tekanan terhadap Ukraina.

Hal serupa juga terjadi di Asia Timur, ketika China secara rutin mengadakan latihan udara dan laut di sekitar Taiwan. Walaupun diklaim sebagai bagian dari upaya menjaga kedaulatan, masyarakat Taiwan justru memaknainya sebagai bentuk intimidasi terhadap upaya otonomi wilayah tersebut. Maka, jika dalam konteks internasional pun latihan militer bisa memunculkan persepsi semacam itu, apakah tidak layak jika rakyat Aceh juga mempertanyakan maksud dan momentum dari latihan yang dilakukan di tengah polemik tanah yang sedang hangat?

Aceh memiliki sejarah panjang terkait konflik, kekerasan, dan trauma kolektif. Maka, kehadiran unsur militer—baik dalam bentuk sengketa tanah maupun aktivitas udara yang menggelegar di langit Aceh—selayaknya disikapi negara dengan komunikasi yang bijak, transparan, dan empatik. Jika memang tidak ada hubungan antara latihan militer dan isu tanah Masjid Raya, maka jelaskan secara terbuka kepada publik. Dalam masyarakat yang menyimpan memori sejarah yang kompleks, diam dan simbol bisa lebih mengganggu ketenangan daripada penjelasan yang jujur dan terbuka.

Sebagai Sekretaris Umum HMI Komisariat Pertanian, Aqnaidil Adha Sinambela, menegaskan “kami tidak menuduh. Kami hanya bertanya. Kami ingin tetap percaya pada Pemerintahan ini. Jangan sampai dengan terjadinya pertanyaan-pertanyaan yang membuat masyarakat resah menjadikan polemik baru ditengah-tengah masyarakat Aceh.” (*)