Langsa – Bagi yang penasaran dengan proses terbitnya uang rupiah, dapat mendatangi Museum Kota Langsa dengan nama lain Balee Juang atau Balai Juang yang berdiri di sebuah bangunan putih peninggalan Belanda di Jalan A Yani, Kota Langsa.
Di dalamnya tersimpan berbagai koleksi benda bersejarah, seperti Al-Quran kuno, keramik kuno, piring saladon, guro saladon, senjata perjuangan, perhiasan, termasuk uang bon kontan yang menjadi alat tukar di Aceh, sebelum mata uang rupiah berlaku.
Gaya bangunan berarsitektur Eropa ini dibangun pada tahun 1920 oleh kolonial Belanda dan sempat dijadikan sebagai tempat mengurus administrasi perdagangan bagi kolonial Belanda. Seiring perubahan zaman, masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, gedung tersebut direbut oleh pejuang dijadikan sebagai markas pejuang pada masa itu.
Pada tahun 1949 penguasa daerah menjadikan gedung tersebut sebagai tempat mencetak uang. Hal itu dilakukan pada masa transisi kemerdekaan Republik Indonesia, karena pemerintah menghapus mata uang Belanda sebagai alat tukar.
Sembari menunggu dikeluarkan alat tukar resmi dari pemerintah atau penguasa daerah mengeluarkan mata uang atau bon kontan senilai Rp 100 dan Rp 250. Seiring waktu berlalu, saat Kota Langsa menjadi Ibu Kota Kabupaten Aceh Timur, gedung ini juga pernah digunakan sebagai kantor Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Timur.
Namun setelah pemekaran wilayah, gedung tersebut dijadikan Museum oleh Pemerintah Kota Langsa yang diresmikan oleh Walikota Usman Abdullah pada 22 Januari 2019. Kepala Seksi (Kasi) Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Langsa menjelaskan dengan adanya koleksi benda-benda bersejarah banyak pengunjung dari kalangan pelajar dan mahasiswa termasuk masyarakat biasa datang secara berkelompok.
“Mereka mencari informasi dan data terkait benda benda bersejarah yang ada di museum ini untuk tugas belajar dan lainnya,” jelasnya, Rabu (27/7/2025). Gedung Balee Juang. Wisata ini menjadi saksi bisu kehadiran Belanda di Aceh.

Letak geografis Kota Langsa yang sangat strategis, serta berbatasan langsung dengan Selat Malaka membuat Belanda menjadikan kota ini sebagai basis pemerintahan khususnya di Aceh. Sisa-sisa sejarah tersebut kini masih bisa dilihat di Gedung Balee Juang Kota Langsa.
Kepala Seksi Cagar Budaya dan Museum Dinas Pendidikan dan Kabudayaan Kota Langsa, Aceh, Riza Arizona mengatakan museum tersebut baru diresmikan dan terbuka untuk umum pada 22 Januari 2019. “Kami berharap museum ini menjadi tujuan wisata dan kajian sejarah masyarakat,” kata Riza.
Riza menceritakan awal mula sebelum bangunan itu menjadi Museum Kota Langsa. Gedung yang berdiri pada 1920 itu merupakan kantor pedagangan Hindia – Belanda. “Sejalan dengan pergerakan kemerdekaan Indonesia, bangunan ini direbut oleh pejuang-pejuang kemerdekaan untuk dijadikan sebagai tempat perkumpulan para pejuang di masa itu,” katanya.
Ketika Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, masyarakat Aceh langsung menghapus mata uang Belanda sebagai alat tukar. Sembari menunggu dikeluarkannya mata uang Republik Indonesia, penguasa daerah pada masa itu menerbitkan Bon Kontan bernilai 100 dan 250 sebagai alat tukar.
Uang tersebut dicetak pada 1949 di Balee Juang tersebut. “Terjadi peristiwa bersejarah di gedung ini. Di sini tempat mencetak Bon Kontan, yaitu mata uang Indonesia sebagai alat tukar di masa itu, dan sampai sekarang masih tersimpan koleksi Bon Kontan di museum ini,” katanya.
Gedung ini pernah digunakan sebagai kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah atau Bappeda Aceh Timur. Kemudian terjadi pemekaran daerah Aceh pada 2001. Bangunan itu terlepas dari wilayah administrasi Aceh Timur dan menjadi bagian dari Kota Langsa.
Untuk melengkapi benda bersejarah di Museum Kota Langsa, Riza menjelaskan, pemerintah telah membeli sejumlah koleksi pada 2015 hingga 2017. “Selain membeli benda bersejarah, kami juga menerima hibah dari para kolektor,” ujarnya.
Dari banyaknya catatan yang ada, ternyata Gedung ini selain mengekspor rempah-rempah juga sebagai pusat Impor termasuk penjualan mobil merek Ford di berbagai kota di Aceh. Kawasan sekitar Gedung Balee Juang kala itu juga sangat dekat dengan stasiun rel kereta api.
Dimana saat Stasiun tersebut selain menjadi alat transportasi masyarakat juga digunakan sebagai sarana pengangkut barang hasil pertanian,perkebunan dan hasil lainnya ke negeri Belanda melalui Pelabuhan Kuala Langsa.
Sedangkan nama Gedung Balee Juang menggunakan nama dengan Bahasa Belanda pula yakni “Het Kantoorgebouw Der Atjehsche Handel-Maatschappij Te Langsar”. Setelah melewati perlawanan yang panjang terhadap Kolonial Belanda, akhirnya Gedung Balee Juang diambil alih oleh para pejuang Aceh dan berubah menjadi Gedung Balee Juang.(Adv)






