Banda Aceh – Istana Karang merupakan bekas kediaman raja-raja Kerajaan Tamiang di Aceh dengan bangunan berlokasi di Desa Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, tepat di pinggir jalan lintas Medan-Banda Aceh.
Istana ini dulunya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Tamiang, sebuah kerajaan Melayu kuno dengan bangunan dikenal memiliki arsitektur unik yang menggabungkan gaya lokal dan Belanda. Saat ini, Istana Karang telah ditetapkan sebagai ikon budaya dan cagar budaya Aceh Tamiang.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah setempat dan pihak terkait (seperti Pertamina EP Rantau Field) untuk merenovasi dan mengubahnya menjadi museum serta objek wisata sejarah dan edukasi untuk umum.
Aceh Tamiang merupakan nama Kerajaan Tamiang dengan kerajaan yang masih punya hubungan kekeluargaan dengan kerajaan kesultanan Deli di Medan Sumatera Utara. Istana Karang Meskipun namanya istana karang, tetapi istana ini dibangun dari beton dan bergaya bangunan Belanda.
Sejarah Istana Karang Aceh Berdasarkan sejarahnya, Tamiang pada masa lalu terpecah dua hingga menjadi dua kerajaan yakni Kerajaan Karang dan Kerajaan Benua Tunu. Tapi kedua kerajaan itu tetap tunduk pada Negeri Karang.
Meskipun bernama istana karang, tetapi istana ini tidak dibangun menggunakan batu-batu karang seperti Istana Karang yang ada di Cirebon melainkan dari beton biasa. Malah aritektur istana ini terlihat seperti arsitektur khas bangunan peninggalan Belanda tanpa ada ciri khas bangunan Aceh.

Mungkin hal ini disebabkan pembangunan istana ini dilakukan pada saat Kerajaan Karang sudah mendapat pengaruh kebudayaan dari pihak Belanda. Pada saat ini bangunan Istana Karang telah dijadikan situs cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Aceh Tamiang.
Meskipun telah dijadikan sebagai situs cagar budaya, akan tetapi kondisi bangunan Istana Karang ini sendiri cukup memprihatinkan. Saat berkunjung ke sana, banyak bagian dari bangunan istana yang sudah mulai rusak karena tidak terawat dengan baik.
Pada bagian dalam istana juga terlihat kosong melompong, hanya ada satu foto yang terpajang di sana. Sungguh sangat disayangkan melihat kondisi tersebut. Dalam literatur sejarah, Kerajaan Karang didirikan oleh Froomsyah pada tahun 1558 M.
Froomsyah menjadi pemangku pertama dalam silsilah Kerajaan Karang. Sedangkan raja terakhir (ke-7) dipimpin Tengku Muhammad Arifin yang berkuasa dalam kurun waktu 1925-1945 M. Pasca-Indonesia merdeka, takhta Kerajaan Karang masih eksis hingga kini, tapi hanya sebatas menjaga warisan raja, tidak punya kekuasaan politik apa pun.
Istana Karang dibangun tahun 1925-1945 M, di bawah kekuasaan Raja Tengku Muhammad Arifin. Keberadaan Istana Karang wujud kemegahan Kerajaan Karang tempo dulu di kawasan Aceh Tamiang. Terutama menjadi bukti kehebatan Raja Tengku Muhammad Arifin.
Istana Karang memiliki satu bagian utama, satu bagian kiri dan kanan. Bila diilustrasikan, bangunan Istana Karang persis seperti pesawat yang punya badan, sayap kiri, dan sayap kanan. Pembangunan Istana Karang tidak terlepas dari gaya Eropa. Hal ini dapat dilihat dari ornamen dan gaya arsitektur gedung.
Di bagian depan istana terdapat sebuah serambi yang ditopang dengan empat tiang besar. Keberadaan serambi makin memperindah bangunan. Dinding istana terlihat polos tanpa ukiran dan ornamen. Gedung bersejarah ini juga didominasi warna putih.
Di dalam istana hanya ada beberapa gendang, persis seperti beduk. Juga terdapat ruangan tembus pandang. Terlihat pula benda-benda pusaka bernilai sejarah sebagai pelengkap istana. Benda kuno dalam istana tergolong minim. Padahal, masih banyak benda pusaka di Aceh Tamiang, tetapi hanya jadi koleksi pribadi.
Saat Kerajaan Karang masih berjaya, Istana Karang digunakan sebagai tempat kediaman raja dan keluarga. Dahulunya, bagian utama difungsikan sebagai tempat raja menjamu tamu kerajaan. Di Istana Karang belum pernah diselenggarakan upacara adat pergantian takhta kerajaan, sebab setelah TM Arifin mangkat, tidak ada pengangkatan raja, kecuali yang dilakukan oleh zuriat Kerajaan Karang pada 2017 silam.
Dalam adat Kerajaan Karang, pengangkatan seorang raja berawal dengan penobatan putra mahkota sebagai calon raja. Saat raja masih hidup, putra mahkota terus dibekali agar mampu memimpin kerajaan setelah raja mangkat. Jadi, penunjukan pengganti raja harus dilakukan oleh raja yang berkuasa. Bila sewaktu-waktu raja mangkat, maka tinggal pengangkatan secara resmi putra mahkota menjadi raja.
Penobatan raja baru Kerajaan Karang laksana pengangkatan raja pada Kerajaan Deli di Sumatra Utara. Kerajaan Deli punya semboyan, “Raja mangkat, raja menanam”. Artinya yang mengebumikan raja, haruslah raja juga. Konon Kerajaan Karang juga punya hubungan khusus dengan Kerajaan Deli. Hal ini sangat beralasan, sebab letak geografis berdekatan.
Saat ini Istana Karang berada di bawah pengawasan Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Aceh Tamiang. Tetapi belum dilakukan pengelolaan secara maksimal sehingga terkesan Istana Karang tidak memiliki arti penting bagi masyarakat Aceh Tamiang.
Sangat jarang, bahkan hampir tidak ada masyarakat yang berkunjung ke destinasi sejarah itu. Halaman istana yang cukup luas kerap menjadi lokasi pasar malam. Hanya dalam kondisi seperti ini banyak pengunjung di Istana Karang, itu pun bukan untuk mengetahui benda peninggalan sejarah, tetapi mencari hiburan atau berbelanja.
Padahal, jika dikelola secara baik, bukan tidak mungkin Istana Karang akan menjadi destinasi wisata menarik bagi warga Tamiang. Terutama kalangan akademisi dan anak-anak sekolah yang ingin melihat langsung bukti kekayaan sejarah negeri ini.(Adv)






