Kabarnanggroe.com, Banda Aceh – Seni rapai, salah satu warisan budaya Aceh, kini mendapatkan perhatian khusus dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh melalui strategi digitalisasi. Kepala Disbudpar Aceh, Dedi Yuswadi, AP, memaparkan, digitalisasi seni rapai merupakan upaya yang harus dilakukan untuk melestarikan sekaligus mempromosikan seni tradisional tersebut, baik di kalangan generasi muda maupun di tingkat internasional.
“Digitalisasi adalah kunci untuk memastikan seni rapai tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang di era modern. Melalui platform digital, kita dapat mengenalkan rapai ke dunia, menjadikannya bukan hanya sebagai tradisi lokal tetapi juga kebanggaan global,” ujarnya, di Banda Aceh, Rabu (12/11/2025).

Dedi Yuswadi menegaskan, digitalisasi seni rapai bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi juga cara strategis untuk memperkuat identitas budaya Aceh. Dalam konteks globalisasi, seni tradisional semakin dihargai ketika dikemas dalam format modern yang dapat diakses secara luas.
Seni rapai, instrumen tradisional yang memiliki nilai spiritual dan historis mendalam bagi masyarakat Aceh, dianggap memiliki potensi besar untuk dipromosikan melalui media digital. Beberapa langkah yang tengah digarap oleh Disbudpar Aceh mencakup pembuatan video tutorial, dokumentasi pertunjukan rapai, serta kolaborasi dengan influencer seni dan kreator konten.
“Kami ingin seni rapai tetap relevan dengan zaman. Generasi muda adalah sasaran utama kami, dan dengan pendekatan yang kreatif melalui media digital, kami yakin mereka akan lebih mengenal dan mencintai seni ini,” jelas Dedi.
Menurutnya, tren global menunjukkan bahwa seni tradisional semakin mendapat perhatian ketika dipadukan dengan teknologi modern. Hal ini menjadi dasar bagi Disbudpar Aceh untuk menggagas sejumlah inisiatif, seperti kompetisi konten digital berbasis seni rapai.
“Kami berencana mengadakan kompetisi video pendek atau musik digital yang mengintegrasikan elemen rapai. Dengan cara ini, partisipasi generasi muda dalam pelestarian seni ini akan meningkat,” tambahnya.
*Kolaborasi dengan Industri Kreatif
Salah satu strategi utama yang diusulkan adalah kolaborasi dengan sektor industri kreatif. Seni rapai dinilai dapat diadaptasi dalam berbagai medium populer seperti musik modern, film, hingga video game.
“Jika rapai bisa menjadi elemen dalam soundtrack film atau video game, seni ini akan memiliki daya tarik baru yang relevan dengan era sekarang. Ini bukan sekadar inovasi, tetapi cara untuk memastikan seni tradisional tetap hidup di era modern,” ucap Kepala Bidang Bahasa dan Seni Disbudpar Aceh, Nurlaila Hamjah SSos MM.
Ia menyebutkan, kolaborasi dengan musisi atau produser film dapat membuka peluang besar untuk memperkenalkan rapai kepada audiens yang lebih luas. Dengan memasukkan unsur rapai ke dalam lagu atau proyek kreatif lainnya, seni ini akan memiliki dimensi baru yang menarik perhatian.
Kadisbudpar Aceh Dedi Yuswadi AP.
*Promosi Global melalui Media Digital
Lebih lanjut, Nurlaila Hamjah menekankan pentingnya menggunakan platform global seperti YouTube dan media sosial lainnya untuk memperluas jangkauan seni rapai. Langkah ini diharapkan dapat membawa seni rapai ke audiens internasional dan mengubahnya menjadi salah satu simbol budaya Aceh yang mendunia.
“Kita harus keluar dari batas lokal dan melihat potensi besar yang dimiliki rapai di tingkat global. Dengan strategi yang tepat, rapai bisa menjadi salah satu simbol budaya Aceh yang dikenal luas,” imbuhnya.
Ia menggarisbawahi bahwa digitalisasi bukan sekadar alat untuk melestarikan, tetapi juga untuk memperkuat warisan budaya Aceh dalam konteks modern. Dengan memanfaatkan jaringan global, seni rapai dapat tampil di panggung internasional dan bersaing dengan seni tradisional dari belahan dunia lainnya.
Menyelaraskan Tradisi dan Teknologi
Seni rapai bukan hanya sebuah pertunjukan, tetapi juga sarat dengan filosofi yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan masyarakat Aceh. Ia berharap, melalui digitalisasi, seni ini dapat tetap mempertahankan esensinya meskipun dikemas dalam format yang lebih modern.
“Kita tidak ingin menghilangkan nilai-nilai tradisional yang terkandung dalam seni rapai. Digitalisasi adalah jembatan untuk menjadikan seni ini lebih dikenal tanpa mengubah inti budayanya,” tegasnya.
Langkah tersebut juga diharapkan dapat menginspirasi seni tradisional lainnya di Aceh untuk mengikuti jejak yang sama. Dengan begitu, Aceh tidak hanya menjadi pusat budaya yang kaya, tetapi juga inovatif dalam pelestarian dan promosi seni.
Kabid Bahasa dan Seni Disbudpar Aceh optimis bahwa digitalisasi seni rapai adalah jalan yang tepat untuk memastikan warisan budaya Aceh tetap hidup dan relevan. “Rapai adalah bagian dari identitas kita, dan di era globalisasi ini, kita harus memastikan identitas itu tetap kuat dan relevan,” pungkasnya.(Wahyu)






