Kabarnanggroe.com, Pengangkatan Mawardi Nur sebagai Direktur Utama PT. Pembangunan Aceh (PEMA) pada 28 Februari 2025 oleh Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf (Mualem), telah memicu kontroversi luas di tengah masyarakat Aceh. Penunjukan ini tidak hanya menimbulkan tanda tanya besar, tetapi juga menunjukkan lemahnya komitmen Pemerintah Aceh dalam menjaga integritas dan stabilitas lembaga strategis daerah.
Minim Pengalaman, Jabatan Strategis Dipertaruhkan
Mawardi Nur yang saat pengangkatannya berusia masih sangat muda, terbukti belum memiliki rekam jejak dan kapasitas yang mumpuni untuk memimpin entitas bisnis sebesar PT. PEMA. Lembaga ini bukanlah perusahaan kecil, melainkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menjadi tumpuan harapan masyarakat Aceh untuk menggerakkan roda perekonomian daerah melalui sektor strategis seperti energi, infrastruktur, dan investasi.
Menyerahkan kendali PT. PEMA kepada figur yang belum teruji sama saja dengan mempertaruhkan masa depan ekonomi Aceh. Seharusnya, pengangkatan seorang Dirut PT. PEMA didasarkan pada meritokrasi — yaitu integritas, pengalaman profesional di bidang korporasi dan energi, serta visi pembangunan yang jelas dan realistis. Bukan sekadar faktor kedekatan politik atau loyalitas pribadi.
Kepemimpinan yang Labil dan Keputusan yang Bermasalah
Selama masa kepemimpinannya, Mawardi Nur telah menunjukkan pola pengambilan keputusan yang sembrono dan cenderung kontroversial. Beberapa pengangkatan pejabat di internal PT. PEMA terindikasi tidak melalui mekanisme seleksi yang transparan dan profesional, sehingga menimbulkan keresahan di kalangan internal perusahaan dan masyarakat.
Tidak hanya itu, alokasi dana CSR (Corporate Social Responsibility) PT. PEMA yang semestinya diprioritaskan untuk masyarakat Aceh justru ditemukan digunakan di luar daerah. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap misi sosial BUMD dan bertentangan dengan semangat Otonomi Khusus Aceh yang menekankan pada keberpihakan kepada rakyat.
Integritas Lembaga Terancam, Gubernur Harus Bertindak
Jika Gubernur Aceh tidak segera mengambil langkah tegas untuk mengevaluasi dan mencopot Mawardi Nur dari jabatannya, maka bukan tidak mungkin PT. PEMA akan semakin kehilangan kepercayaan publik dan menghadapi gejolak sosial yang lebih luas. Gubernur Aceh sebagai pemegang kekuasaan politik di daerah tidak boleh bersikap pasif atau membiarkan situasi ini terus berlarut-larut.
Jangan Jadikan PT. PEMA Alat Politik
Sudah saatnya Pemerintah Aceh memperlakukan BUMD seperti PT. PEMA sebagai lembaga profesional, bukan sebagai alat politik atau tempat penampungan loyalis. Aceh butuh pemimpin yang bisa membawa perubahan nyata, bukan sekadar pemuda dengan semangat tanpa arah.
Jika kepemimpinan Mawardi Nur terus dipertahankan tanpa dasar yang rasional, maka Gubernur Aceh patut diduga telah menyalahgunakan kewenangannya dan mengabaikan aspirasi rakyat. Maka, pencopotan Dirut PT. PEMA bukan hanya menjadi opsi, tapi keharusan.