Kabarnanggroe.com, JEDDAH — Sebuah mimpi panjang yang tumbuh dari pematang sawah akhirnya menjadi nyata. Munira (74), jemaah haji asal Aceh Besar, resmi menapakkan kaki di Tanah Suci setelah puluhan tahun menanti. Ia tergabung dalam Kloter 11 Embarkasi Aceh yang mendarat di Bandara King Abdulaziz, Jeddah, Kamis (29/5/2025) pukul 07.46 waktu setempat.
Di kampung halamannya di Gampong Lheue Cureh, Munira dikenal sebagai sosok sederhana. Seorang janda lima anak yang hidup dari hasil panen gabah. Selama 19 tahun, ia menyisihkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya, menabung rupiah demi rupiah demi satu impian: berhaji.
Setiap kali pesawat melintas di langit sawahnya, Munira memandanginya dengan penuh harap. Ia membayangkan suatu hari nanti, dirinya turut berada di dalamnya, terbang menuju Baitullah. “Sedih, tapi saya terus berdoa. ‘Ya Allah, mungkinkah aku juga Kau panggil ke rumah-Mu?’” kenangnya dengan suara bergetar.
Perjalanan Munira bukan sekadar soal mengumpulkan uang. Ia menanam harapan, memupuk kesabaran, dan menjaga mimpi di tengah berbagai cobaan hidup. Berkali-kali namanya tertunda dari daftar keberangkatan. Namun semangatnya tak surut. Ia terus menunggu dengan sabar.
Titik terang itu akhirnya datang. Seorang saudaranya yang bekerja sebagai petugas haji di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Aceh Besar membawa kabar gembira—nama Munira tercantum dalam daftar calon jemaah haji tahun 2025.
“Alhamdulillah, tahun ini saya mendapat panggilan, setelah lama menunggu,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca, tak kuasa menahan haru.
Kebahagiaan Munira semakin lengkap karena ia tidak sendiri. Anak sulungnya, Syahrial Fardi, turut mendampinginya berkat kebijakan percepatan keberangkatan bagi pendamping jemaah lansia dari Kementerian Agama. Tak hanya itu, adik kandungnya dari Takengon dan seorang keponakannya dari Aceh Besar juga termasuk dalam rombongan haji tahun ini. Sebuah momen keluarga yang langka dan penuh berkah.
Almuzanni, anak bungsu Munira, menuturkan bahwa seluruh biaya haji sang ibu berasal dari hasil menjual padi. Selama hampir dua dekade, Munira menabung dan menginvestasikan hasil panennya, menolak bantuan demi menjaga keikhlasan niat.
“Kisah ibu adalah pelajaran bagi kami semua. Bahwa doa dan tekad bisa membawa seseorang dari ujung pematang sawah menuju Tanah Suci,” ujar Almuzanni.
Kini, pesawat yang dulu hanya ia pandangi dari kejauhan telah membawanya ke tanah impian. Tangis haru pecah di landasan Jeddah, menandai sebuah perjalanan panjang yang penuh sabar dan doa akhirnya sampai pada tujuan.
“Semoga ibu Munira dan seluruh tamu Allah meraih haji mabrur,” ucap Ketua Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang juga Kakanwil Kemenag Aceh, Azhari. (Herman)