kabarnanggroe.com, SALAH satu sarana dakwah yang masih kurang mendapatkan perhatian dari kalangan ulama (dai) adalah berdakwah melalui tulisan. Padahal, dakwah melalui tulisan tidak kalah pentingnya dibanding dakwah melalui lisan (ceramah).
Ketua Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Ahmad Satori Ismail, menyarankan agar para ulama giat berdakwah tidak hanya melalui lisan, tetapi juga dibarengi dengan dakwah melalui tulisan. Dakwah melalui tulisan dapat menjadikan seorang ulama abadi, meskipun ulama tersebut telah meninggal dunia.
Kita seringkali menyaksikan seorang dai yang tampil memukau di hadapan audiensnya. Namun, tidak banyak dai yang mau menuliskan materi ceramahnya itu dalam bentuk artikel maupun buku.
Padahal sejatinya, kemampuan ceramah seseorang itu tidak akan dapat memukau audiens, atau dangkal isi materi ceramahnya jika tidak diiringi kemampuan dalam membaca.Aktivitas ceramah dimulai dari membaca.
Aktivitas menulis juga dimulai dari membaca. Jadi, aktivitas ceramah dan menulis itu sama-sama diawali dengan membaca.
Raghib as-Sirjani dalam bukunya Spiritual Reading mengingatkan, setengah jam setelah membaca, 50 persen isi buku akan hilang dari ingatan. Setelah 24 jam berlalu, pembaca akan melupakan 80 persen isi buku.
Karena itu, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Demikian pesan singkat seorang sahabat Nabi Muhammad ﷺ, Ali bin Abi Thalib RA. Lebih khusus, Syeikh Hasan al-Banna berpesan kepada para dai, hendaknya setiap dai memiliki kompetensi membaca (al-qira’ah) dan menulis (al-kitabah).
Hal tersebut menunjukkan pentingnya para dai agar mau memulai menuliskan materi-materi dakwahnya. Alangkah indahnya jika setiap dai mau menuliskan bahan ceramahnya.
Lalu dikumpulkan, lambat laun bahan ceramah itu menjadi sebuah kumpulan ceramah. Pada akhirnya, lembaran-lembaran bahan ceramah itu dapat dikumpulkan menjadi sebuah buku yang dapat dinikmati (dibaca) kapan saja oleh orang lain. Allahu Akbar!
Mulailah menulis
Menulis adalah tindakan konkret dan praktis. Agar mampu menulis, seseorang harus melakukannya. Hanya dengan menulis seseorang akan dapat belajar menulis. Tanpa melakukannya, seseorang tidak akan pernah mampu menulis dengan baik.
Bambang Trim dalam bukunya Menjadi Power Da’i dengan Menulis Buku memberikan tiga langkah aktivitas yang dapat memunculkan stimulan dan gagasan untuk menulis. Yaitu, banyak membaca, banyak berjalan, dan banyak silaturahmi. Karenanya, gabungkan ketiga langkah itu sebagai kebiasaan sehari-hari.
Lebih lanjut, Bambang menyebutkan beberapa mitos yang dapat melemahkan semangat untuk menulis.
Pertama, menulis membutuhkan mood (suasana hati). Sebenarnya, menulis adalah sebuah azzam (tekad) yang bisa mengalahkan mood.
Kedua, ide buruk akan tertutupi oleh tulisan yang bagus. Padahal ide buruk akan tetap tampak buruk di tangan seorang penulis profesional sekalipun.
Ketiga, bahasa indah dan menarik dibuat dengan puitis. Namun terkadang bahasa yang terlalu berbunga-bunga malah membosankan.
Keempat, bahasa yang rumit lebih bergengsi dan intelek. Yang kita cari bukan gengsi, melainkan pemahaman.
Kelima, menulis adalah permainan kata-kata. Padahal kata-kata yang dipermainkan adalah bagian dari kebohongan.
Keenam, para penulis adalah orang yang memiliki bakat menulis. Sebenarnya tidak ada bakat menulis yang dibawa sejak lahir.
Tradisi menulis
Jika kita menengok ke belakang, sebenarnya aktivitas menulis sudah menjadi tradisi para ulama terdahulu. Kita mengenal Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Malik, Imam Ahmad, dan imam-imam lainnya, termasuk ulama terkemuka saat ini Yusuf Qaradhawi, bukan karena bertemu mereka, akan tetapi melalui karya-karya tulisnya.
Melalui ketajaman pena itulah mereka akan selalu terkenang sampai akhir zaman.Ibnu Taimiyah telah menulis 300 buku dari berbagai disiplin ilmu.
Abu Amru bin al-Bashri menulis buku yang jumlahnya sampai memenuhi rumahnya hingga hampir mencapai atap. Dan, sang teladan Rasulullah ﷺ sendiri memiliki sekretaris pribadi dari kalangan sahabat sejumlah 65 orang (Lihat dalam buku 65 Sekretaris Nabi ﷺ karya Muhammad Mustafa Azami).
Al-Jahidz pernah mengutip ucapan seorang penyair, ”Mereka meninggal dan tersisalah apa-apa yang mereka perbuat, seakan-akan peninggalan abadi mereka hanyalah apa yang mereka tulis dengan pena.”
Saking pentingnya berdakwah melalui tulisan ini, Rasulullah ﷺ menegaskan melalui sabdanya, ”Barangsiapa meninggal dan warisannya berupa tinta dan pena (yang dituliskan dalam buku) akan masuk surga.”
Maha Benar Allah SWT yang telah berfirman;
نٓ ۚ وَالۡقَلَمِ وَمَا يَسۡطُرُوۡنَۙ
”Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukanlah orang gila.” (QS: al-Qalam [68]: 1-2).
Semoga Allah SWT memberikan kemampuan kepada para dai untuk dapat menuliskan materi-materi dakwahnya menjadi buku dan artikel. Dengan demikian, akan dapat mencerahkan aktivitas dakwah di negeri ini. Amin.*/Imam Nur Suharno, pengajar di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat