Mahasiswa Asal Pulo Aceh Desak Pemerintah Buka Kembali Rute Kapal Layak ke Pulau Breuh: “Jangan Biarkan Kami Terisolasi”

Ketua Departemen Ekonomi Kreatif Himpunan Mahasiswa Aceh Besar (HIMAB), Ikram Ulpa

Kabarnanggroe.com, Aceh Besar, 26 Mei 2025 — Ketua Departemen Ekonomi Kreatif Himpunan Mahasiswa Aceh Besar (HIMAB), Ikram Ulpa, mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk segera memperbaiki sistem transportasi laut menuju Pulau Breuh, Kecamatan Pulo Aceh. Seruan ini mencerminkan keresahan masyarakat atas terbatasnya aksesibilitas dan buruknya layanan pelayaran yang ada saat ini.

Meskipun secara administratif rute pelayaran dari Pelabuhan Ulee Lheue ke Pulau Breuh masih aktif, namun frekuensinya sangat minim—hanya satu kali dalam sebulan melalui kapal KMP Papuyu yang melakukan perjalanan pulang-pergi. Frekuensi tersebut jauh dari mencukupi, mengingat mayoritas penduduk Pulo Aceh menetap di Pulau Breuh dan sangat bergantung pada layanan tersebut.

Lebih ironis lagi, kapal yang dijadwalkan berlayar kerap gagal bersandar di dermaga Pulau Breuh. Bukan karena faktor cuaca, melainkan karena kerusakan pada rambu-rambu navigasi yang belum juga diperbaiki.

“Ini bukan soal badai atau gelombang tinggi, tetapi karena rambu pelayaran yang rusak. Bagi kami, itu bukan alasan yang bisa diterima untuk membatalkan sandar. Ini bukti nyata kurangnya perhatian terhadap fasilitas pelabuhan dan pelayanan publik,” tegas Ikram, mahasiswa asal Pulau Aceh.

Selain itu, ia juga menyoroti minimnya waktu singgah kapal di dermaga. Begitu kapal merapat, proses bongkar muat dilakukan secara terburu-buru.

“Kapal hampir tidak memberi waktu bagi warga untuk menurunkan barang atau turun dengan aman. Tak jarang, tali langsung dilepas hanya beberapa menit setelah bersandar. Ini sangat menyulitkan,” tambahnya.

Saat ini, satu-satunya kapal penyeberangan yang beroperasi adalah KMP Papuyu dengan tujuan Pulau Nasi dan ke Pulau Breuh hanya satu trip perbulan. Akibatnya, warga Pulau Breuh terpaksa menggunakan perahu kayu milik warga yang tidak memiliki standar keselamatan, dan sangat bergantung pada cuaca.

“Ini bukan sekadar soal akses transportasi, melainkan soal keadilan dan keselamatan warga negara. Mengapa wilayah lain bisa menikmati layanan kapal yang layak, sementara kami dipaksa bertahan dengan moda transportasi berisiko?” kata Ikram ketua departeman Ekraf.

Kondisi ini telah berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga roda perekonomian. Distribusi barang terganggu, biaya logistik meningkat, dan harga kebutuhan pokok melonjak drastis.

HIMAB menurut Ikram, tidak hanya akan menjadi pengkritik, tapi juga bagian dari solusi.

“Mahasiswa adalah agen perubahan dan jembatan komunikasi antara masyarakat dan pemangku kebijakan. Kami siap duduk bersama pihak terkait untuk mencari solusi konkret,” ujarnya.

Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama pemuda, untuk bersatu memperjuangkan hak dasar masyarakat. Dengan potensi wisata bahari yang menjanjikan dan wisata sejarah seperti Mercusuar William’s Torrent III—salah satu mercusuar peninggalan kolonial belanda. Pulau Breuh memiliki potensi besar untuk menjadi destinasi unggulan, asalkan didukung infrastruktur dan transportasi yang memadai.

“Ini bukan hanya tentang kapal, tapi tentang masa depan Pulau Breuh. Jangan biarkan wilayah kepulauan terus menjadi halaman belakang pembangunan. Kami bagian dari negeri ini, dan sudah saatnya negara hadir secara nyata di tengah masyarakat pulau,” tutup Ikram.(*)