Daerah  

Dari Peukan Bada Ke Negeri Belanda

Kisah Korban Tsunami Aceh

Kabarnanggroe.com, Aceh Besar – Bencana gempa/tsunami Aceh sudah lama berlalu. Tentu saja bencana dahsyat yang terjadi Ahad, 26 Desember 2004 itu sulit hilang dari ingatan para-korban yang selamat. Korban “ie beuna” yang dulunya adalah kanak-kanak, kini sudah dewasa dan berkeluarga.

Sufrisa, 18 tahun lalu adalah seorang anak-anak. Saat itu ia berusia 8,5 tahun dan sebagai siswa kelas 4 di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Peukan Bada, Aceh Besar.

Pagi, sebelum gempa terjadi, Risa atau Frisa – panggilan akrab perempuan kelahiran Aceh Besar, 8 Januari 1996 ini sedang menikmati hari libur bersama keluarga. Ia sarapan pagi sembari menonton tayangan film kartun di tv.

Saat bumi terguncang hebat, mereka panik namun tetap berzikir. Keadaan bertambah tak menentu karena gelombang laut mendekat dengan suara menderu. Dia bersama abangnya Sofyan dan kakaknya Rina ikut menyelamatkan diri ke perbukitan Glee Genting. Sedangkan ayahnya M. Yusuf, ibunya Chadijah serta banyak kerabat dekatnya yang menjadi korban tsunami.

“Mamak tidak bisa lari, karena rematiknya kambuh. Mamak menyuruh kami lari secepatnya. Pasti ia tidak tahu akan adanya tsunami,” sebut Risa. Ia sempat melihat ibu dan ayahnya naik ke lantai atas untuk shalat Dhuha. “Kami sudah mengikhlaskan kepergian Mamak dan Ayah. Alhamdulillah jenazah Mamak ditemukan 51 hari kemudian, tubuhnya masih utuh dan berpakaian lengkap, sedangkan jenazah ayah tidak ditemukan,” tambahnya.

Dimasa panik, ia bersama Rina dan Sofyan mengungsi di komplek Rindam Mata Ie. Saya sebagai relawan kemanusiaan sempat berjumpa dengan Risa di kamp pengungsian ini.

Risa adalah anak cerdas, pandai bicara dan cepat akrab dengan siapa pun. Selain itu ia berbakat membuat dan membaca puisi. Mungkin atas kelebihan ini Pemerintah Jerman simpati dan mengundangnya ke Berlin.

Empat bulan di kamp pengungsian, mereka pindah dan menempati hunian sementara (Huntara) di pekarangan Masjid Gle Gurah, Pekan Bada selanjutnya tinggal ke rumah sendiri bantuan NGO di Lamgeu Eu.

Atas perhatian Pemerintah Jerman dan mendapatkan beasiswa program bidik misi serta tambahan peduli pihak lainnya, Sufrisa dapat meraih predikat Sarjana FKIP Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Syiah Kuala, 2018.

Pada 2018 juga Sufrisa berkenalan dengan Robert Bartosik via media sosial dan berjumpa penganut Katolik itu pada awal 2019. Robert warga negara Polandia yang menetap di Belanda begitu serius ingin mengenal Islam.

“Beliau tertarik dengan Islam dan saya membantu membimbingnya. Beliau takjub terhadap masyarakat Aceh yang sangat ramah dan agamis. Saya mengajaknya mengunjungi ke Masjid Raya Baiturrahman dan Kapal PLTD Apung dan destinasi wisata religi dan tsunami lainnya,”ungkap Risa.

Robert mengucapkan syahadah dibimbing Tgk Syamsuddin, pimpinan Dayah Kanzul Fata Lamgeu Eu, Peukan Bada pada Juli 2019 lalu. Sertifikat syahadah Robert diperlukan untuk pemenuhan administrasi karena pada 6 Januari 2020 Robert-Risa melaksanakan aqad nikah.

Setelah menikah, Risa yang berasal dari Peukan Bada diboyong suaminya yang mualaf ke Negeri Kincir Angin, Belanda dan menetap di sana.

Awal Desember lalu sampai Februari 2023 Risa seorang diri dan atas izin suami kembali ke Aceh. Ia mengisi liburan sekaligus menemui keluarga dan kerabat-kerabatnya di Peukan Bada dan tempat lainnya.

Selama di kampung halaman, Sufrisa mendiami rumah Rina, kakaknya yang kini menjadi warga Lamteumen, Banda Aceh. (Cek Man/Nariya Ison/Gema)