Kabarnanggroe.com, Banda Aceh – Himpunan Mahasiswa Sosiologi (HIMASIO) FISIP Universitas Syiah Kuala (USK) menggelar Seminar Nasional dengan tema “18 tahun Damai Aceh: Refleksi Perjuangan dan Perubahan.”
Kegiatan yang merupakan bagian dari Sosiologi Fair tersebut, dihadiri secara langsung oleh 80 peserta dan 200 peserta lainnya secara hybrid, dengan tiga narasumber utama yang di antaranya, Dr. Husaini Hasan, Proklamator Aceh Merdeka 1976, Haekal Afifa, Pendiri Museum Tengku Hasan Muhammad di Tiro dan Ketua Institut Peradaban Aceh, di aula FISIP USK, Darussalam, Sabtu (24/11/2023).
Selain itu, kegiatan yang di koordinir oleh Koordinator Eksekutif Kontras Aceh Azharul Husna, bertujuan untuk mengevaluasi perubahan pasca kesepakatan MoU Helsinki 2005, serta mengenang perjuangan menuju perdamaian.
Ketua HIMASIO Aidil Syahputra mengatakan, pembelajaran tentang sejarah damainya Aceh ini penting untuk dipahami oleh pemuda-pemudi Aceh selaku pewaris kebudayaan, serta oleh masyarakat umum dengan skala Nasional yang ingin mengetahui bagaimana proses Aceh dalam mencapai perdamaian dari konflik yang panjang.
Menurut Aidil, menghadirkan tokoh yang terlibat langsung dalam proses perdamaian seperti Dr. Husaini Hasan adalah hal yang harus dilakukan agar tidak ada kesalahan dalam penyampaian sejarah.
“Selain Dr. Husaini Hasan, kami juga mengundang Haekal afifa yang merumuskan pimikiran Tengku Hasan Tiro ke masa sekarang, dimana sejarah itu merupakan hal yang pernah terjadi dan harus dijadikan pembelajaran di masa mendatang, kemudian ada Azharul Husna yang menyampaikan tentang pelanggaran-pelanggaran HAM berat selama konflik Aceh berlangsung,” ujar Aidil.
Sementara itu, Muhammad Aqib Maulana seorang peserta seminar mengungkapkan, seminar ini sangat menarik karena mengundang narasumber yang berkecimpung langsung dalam proses perdamaian Aceh, dan menjelaskan pelajaran yang dapat diambil dari sana sehingga peperangan tidak terjadi lagi kedepannya, dan disampaikan juga cara mengatasi trauma masa lalu akibat banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik Aceh.
“Dengan mengikuti seminar ini, kita jadi tidak lupa dengan sejarah yang harus dijadikan pembelajaran agar tidak melakukannya kembali di masa mendatang,” pungkasnya. (WD/*)