Berqurban Wujud Mencintai Allah SWT

Oleh: Ustaz Afrizal Sofyan, S.Pd.I, M.Ag Anggota MPU Aceh Besar

Kabarnanggroe.com, Cinta adalah rasa sayang, empati, dan keinginan untuk memiliki dan dimiliki, yang ditanamkan Allah Swt di lubuk hati manusia. Rasa cinta merupakan anugerah Allah yang tak terhingga nilainya: cinta kepada lawan jenis, cinta istri kepada suami atau sebaliknya, cinta anak kepada orang tua atau sebaliknya, hingga cinta kepada harta benda yang dimiliki.

Fitrah manusia adalah mencintai dan dicintai. Manusia merasakan kenikmatan saat mencintai kekasih, orang tua, sesama, dan lingkungannya. Semua itu adalah bagian dari rahmat Allah Swt.

Oleh karena itu, siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, niscaya akan merasakan manisnya iman.

Sabda Rasulullah Saw dari Anas bin Malik ra: “Tiga hal, barang siapa memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman: menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan membenci kekufuran sebagaimana ia membenci jika dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw juga mengingatkan, bahwa cinta kepada anak, pasangan, harta, dan dunia ini tidak boleh melebihi kecintaan kepada Sang Khalik, Allah Swt.

Cinta Sejati

Ciri utama orang beriman adalah mencintai Allah dan Rasul-Nya. Namun cinta ini tidak cukup hanya di lisan. Ia harus dibuktikan melalui keteguhan iman, kesabaran, dan keikhlasan dalam menghadapi ujian. Kecintaan kepada Allah ditunjukkan dengan ketekunan dalam beribadah, kesungguhan dalam beramal, serta kesiapan untuk berkorban, termasuk berkorban harta bahkan nyawa jika diperlukan.

Semakin tinggi cinta seseorang kepada Allah, semakin besar pula ujiannya, terutama dalam bentuk godaan dunia seperti jabatan, harta, dan wanita.

Para nabi dan rasul pun menjalani berbagai ujian berat demi membuktikan kecintaan mereka kepada Allah. Di antara kisah paling mengharukan adalah pengorbanan Nabi Ibrahim as, yang mendapat gelar Khalilullah (Kekasih Allah) karena kesetiaan dan ketaatannya. Allah menguji beliau dengan perintah untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail as. Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang disyariatkannya ibadah qurban, yang kemudian diteruskan oleh Rasulullah Saw.

Allah Swt berfirman: “Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah!” (QS. Al-Kautsar: 2)

Menurut Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini merupakan perintah melaksanakan shalat dan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk syukur atas nikmat Allah dan ekspresi cinta kepada Sang Pemberi Nikmat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (16/531–532) menjelaskan, bahwa dua ibadah besar dalam ayat ini, shalat dan qurban, adalah bentuk taqarrub (pendekatan diri), tawadhu’, dan rasa butuh kepada Allah, sekaligus bukti keyakinan dan ketenangan hati kepada-Nya.

Secara bahasa, qurban berarti sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. Maka, siapa yang berqurban dengan ikhlas, sesungguhnya sedang berusaha meraih cinta dan ridha-Nya.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw: “Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan ia terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)

Keteladanan Sahabat

Di zaman Rasulullah saw, para sahabat memaknai qurban bukan sebagai beban, tetapi sebagai kesempatan berbagi dan mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam Tarikh Khulafa karya Ibrahim al-Quraibi, disebutkan, para sahabat menyambut ibadah qurban dengan semangat tinggi, meski banyak dari mereka hidup dalam keterbatasan.

• Abu Bakar Ash-Shiddiq ra dikenal dermawan dan sangat taat kepada Rasulullah. Ia menyumbangkan dan menyembelih hewan terbaik yang dimilikinya sebagai bentuk cinta dan pengorbanan tertinggi.

• Utsman bin Affan ra menyembelih ratusan ekor unta di masa kekhalifahannya. Bagi beliau, qurban bukan sekadar jumlah, tetapi ekspresi dari niat tulus dan tanggung jawab sosial.

• Ali bin Abi Thalib ra, meskipun dalam kondisi sakit, tetap berqurban karena tidak ingin melewatkan ibadah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.

• Abdurrahman bin Auf ra, sahabat yang kaya raya, berqurban tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga atas nama keluarga dan fakir miskin. Ia berkata, “Aku takut termasuk golongan yang diberi nikmat dunia, tapi lupa bersyukur. Maka aku biasakan memberi agar tidak terikat oleh dunia.”

• Bilal bin Rabah ra, meskipun hidup dalam kesederhanaan, tetap berpartisipasi dalam qurban. Ia bahkan mengumpulkan dana bersama sahabat-sahabat lainnya demi tetap bisa beribadah di hari raya.

Kisah-kisah ini membuktikan, qurban bukan semata soal kemampuan finansial, tetapi tentang kemurnian hati, cinta, dan pengorbanan kepada Allah.

Ketika seseorang telah mencapai puncak kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, ia akan merasakan manisnya iman. Pada titik itu, cinta dunia tidak lagi menguasainya, sebab hatinya telah penuh dengan cinta kepada Allah.

(Disarikan dari materi Pengajian Pimpinan Daerah Aisyiyah Aceh Besar di Masjid Abu Indrapuri, Jumat, 23 Mei 2025)