Kabarnanggroe.com, Banda Aceh – Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Provinsi Aceh mendesak Pemerintah Pusat untuk segera mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait Zakat sebagai faktor pengurang jumlah pajak penghasilan terhutang yang telah diusulkan oleh Pemerintah Aceh beberapa waktu lalu.
“Persoalan Zakat pengurang pajak terhutang ini merupakan amanah dari pasal 192 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Sebagai kebutuhan pelaksanaan keistimewaan dan kekhususan Aceh terkait zakat pengurang pajak ini, pihaknya meminta pemerintah pusat untuk segera mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait Zakat sebagai faktor Pengurang jumlah Pajak Penghasilan terhutang yang telah diusulkan oleh Pemerintah Aceh,” ujar Ketua KADIN Aceh, Muhammad Iqbal, Senin (20/11/2023).
Iqbal menjelaskan, persoalan Kekhususan Aceh terkait implementasi dari Pasal 192 UUPA Nomor 11 Tahun 2006 telah menjadi konsen Gubernur Aceh sejak masa Irwandi-Nazar dan para Gubernur seterusnya. Pasalnya, pada tanggal 12 April 2007 Wakil Gubernur Muhammad Nazar atas nama Gubernur Aceh telah menyurati Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia perihal perlakuan atas zakat atas pajak penghasilan di Aceh.
Kemudian, pada tanggal 15 Juli 2015, Gubernur Aceh, dr.H.Zaini Abdullah menyurati Bapak Presiden Republik Indonesia terkait implementasi zakat pengurang pajak dan dalam surat tersebut dijelaskan bahwa masyarakat Aceh selaku Muzaki (Wajib) Zakat merasa terbebani dalam membayar zakat akibat adanya pajak ganda (double tax).
Selanjutnya, pada tanggal 06 Juli tahun 2021, Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, MT menyurati Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia u.p Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri terkait permintaan konsultasi dan penyampaian rancangan Peraturan Pemerintah tentang zakat sebagai faktor pengurang jumlah pajak penghasilan terhutang.
“Berdasarkan pasal 192 dan Pasal 270 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh dan pasal 35 UU Nomor 7 Tahun tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pemerintah Aceh, dan Baitul Mal Aceh telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Zakat sebagai faktor pengurang jumlah pajak penghasilan terhutang,” bunyi surat Gubernur tersebut.
Iqbal Piyeung panggilan akrab Muhammad Iqbal menambahkan kemudian, pada tanggal 28 Febuari 2023, Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki telah menyurati Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Republik Indonesia perihal penyampaian draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang zakat sebagai faktor pengurang pajak terhutang dan permintaan konsultasi.
Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa untuk mempercepat proses penetapan RPP dimaksud, Pemerintah Aceh memohon bantuan Ketua BAZNAS sebagai lembaga Pemerintah Non Kementerian untuk menjadi Pemrakarsa sebagaimana diatur dalam pasal 27 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).
Selanjutnya, pada tanggal 11 September 2023, Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki menyurati Kementerian Keuangan Republik Indonesia perihal permohonan menjadi Pemrakarsa atau Pemohon Izin Prakarsa atas Rancangan Peraturan Pemerintah tentang zakat pengurang pajak Penghasilan Terutang.
“Sudah 16 tahun pelaksanaan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang tertuang dalam pasal 192 UU Nomor 11 Tahun 2006 terkait zakat sebagai faktor pengurang pajak penghasilan Terutang belum dapat dilaksanakan.
Pihaknya berharap kepada seluruh anggota DPR RI dan anggota DPD Aceh yang tergabung dalam Forbes untuk mendukung langkah pemerintah Aceh agar Pemerintah Pusat dapat mengesahkan segera Peraturan Pemerintah terkait Zakat sebagai faktor pengurang jumlah pajak penghasilan terhutang,” ungkap Iqbal.
Iqbal menjelaskan lebih kurang sudah 17 tahun diberlakukan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) sebagai legalitas kekhususan Aceh sekaligus peneguhan akan pemerintahan mandiri (self government) bagi Aceh.
Namun, hingga kini UUPA masih sebatas cek kosong bagi rakyat Aceh. Pasalnya masih ada sejumlah aturan dalam UUPA yang seharusnya dapat dilaksanakan namun tak kunjung dapat terealisasi ekses belum adanya aturan turunan sebagai petunjuk teknis pelaksanaan pasal-pasal dalam UUPA. Padahal aturan turunan tersebut sangat diperlukan bagi kepentingan rakyat Aceh.
Dirinya mengungkapkan, salah satu hal yang sangat berdampak bagi Aceh adalah persoalan zakat sebagai pengurang pajak. Persoalan hal krusial seperti ini luput dibahas. Padahal bicara kekhususan Aceh yang tertuang dalam UUPA Nomor 11 Tahun 2006 bukan hanya persoalan bendera tapi banyak persoalan kekhususan Aceh yang luput dari perhatian Gubernur, DPRA, DPR RI dan DPD.
“Seperti zakat sebagai pengurang pajak itu akan besar manfaatnya bagi masyarakat Aceh. Karena di Aceh selain pajak ternyata masyarakat juga dibebani kewajiban membayar zakat sehingga selama ini masyarakat Aceh selalu double tax (pembayaran ganda) dalam menunaikan kewajiban pemasukan negara, yaitu membayar zakat dan juga pajak,” ungkapnya.
Dirinya heran hingga kini telah 17 tahun kekhususan Aceh terkait zakat pengurang pajak belum punya aturan turunan. Padahal dengan adanya Peraturan Pemerintah Zakat sebagai faktor pengurang jumlah pajak penghasilan terhutang yang telah diajukan oleh pemerintah Aceh kepada Pemerintah Pusat, negara tidak dirugikan sedikitpun karena tidak ada pengurangan penerimaan negara.
“Yang terjadi hanya pergeseran pos. Pemerintah tidak akan kehilangan sumber pendapatan pajak, karena sumbernya dipindahkan, bukan dihilangkan. Sementara disisi lain masyarakat Aceh akan terbebas dari beban ganda untuk membayar pajak dan juga zakat,” pungkasnya.(WD/*)