Kabarnanggroe.com, Jakarta – Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ahmad Zubaidi, menyampaikan bahwa penggunaan candaan dalam dakwah diperbolehkan selama tetap mencerdaskan dan berada dalam koridor etika. Hal ini diungkapkan dalam acara Standardisasi Dai MUI angkatan ke-36 yang berlangsung di Aula Buya Hamka, Jakarta, pada Senin (16/12/2024).
Menurut Kiai Zubaidi, candaan dalam dakwah bahkan sangat dibutuhkan untuk menciptakan suasana yang lebih hidup dan menarik. “Dakwah tanpa candaan akan terlihat kering sekali, dan hal itu kurang sesuai dengan karakter dakwah umat di Indonesia,” ujarnya.
Namun, ia menekankan pentingnya memperhatikan etika dalam bercanda. “Candaan dalam dakwah harus tetap dalam koridor etika, tidak menggunakan kata-kata kasar, dan tidak mengandung penghinaan,” jelasnya.
Kiai Zubaidi juga menyampaikan bahwa salah satu materi baku dalam program standardisasi dai adalah etika dakwah. Materi ini dirancang untuk mendorong para dai mengutamakan sopan santun, ramah tamah, dan penggunaan bahasa yang baik dalam menyampaikan pesan agama.
“Etika dakwah menonjolkan bahwa para dai harus mengedepankan sopan santun dan menggunakan kata-kata yang baik. Kami melarang dakwah-dakwah yang menggunakan kekerasan, kata-kata kasar, atau candaan yang mengandung penghinaan terhadap ras, suku, golongan, maupun agama,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kiai Zubaidi mendorong para dai untuk melakukan improvisasi dalam menyisipkan candaan yang mencerdaskan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas dakwah, membuatnya lebih menarik, dan mempermudah masyarakat dalam menerima pesan yang disampaikan.
“Berlatihlah berdakwah yang di dalamnya ada candaannya, tetapi ingat candaan yang mencerdaskan dan tidak ada penghinaan di dalamnya,” tutupnya.
Acara Standardisasi Dai MUI ini merupakan bagian dari upaya MUI dalam meningkatkan kompetensi para dai di seluruh Indonesia. Dengan pendekatan dakwah yang ramah dan mencerdaskan, diharapkan pesan-pesan agama dapat lebih efektif sampai ke masyarakat luas.