Cerpen : Derai Air Mata Seorang Ibu dari Aceh

Oleh HD Mulya

Ilustrasi

Kabarnanggroe.com, “Ayah aku cinta dan rindu padamu, Ibu engkau adalah wanita terbaik sepanjang hidupku.”

Aku adalah masyarakat biasa. Aku lahir dari hasil perkawinan ayah dan ibuku. Ayahku yang bernama Pangeran Jafar itu berasal dari pulau seberang. Dan ibuku bernama Cut Asiah berasal dari ujung pulau Sumatera bagian barat.
Ibuku orang kaya raya, banyak sawah ladang subur bak zamrud khatulistiwa yang dimilikinya. Di perut sawah ladangnya yang subur terkandung emas dan gas bumi yang melimpah ruah. Selain kekayaan yang dimiliki, Ibuku juga seorang wanita berbudi luhur dan dermawan.

Aku bukan jenis burung jampok, sejenis burung yang matanya melotot yang memuji ibunya sendiri, tetapi fakta. Catatan sejarah menjadi bukti namanya terkenal dan abadi dalam buku-buku sejarah peradaban dunia. Sedangkan ayahku dulunya memang orang yang tidak punya apa-apa. Hanya sedikit kelebihan yang dimilikinya yaitu pandai merayu.

Menurut berita yang kuterima dari tetangga, sebelum ibuku jadi istri ayahku, banyak lelaki lain yang menginginkannya. Lelaki itu ada yang datang dari Jepang, Portugis, dan Belanda. Mereka muncul ke rumah ibuku tetapi ibuku menolak ajakan mereka. Bahkan pelamar dari negeri Belanda yang sedikit beringas dilawan oleh ibuku.
Ibuku kawin dengan ayahku setelah mereka jatuh cinta dan lamaran lelaki Jepang, Portugis, dan Belanda ditolak mentah-mentah oleh ibuku.

Maka pelamar yang dari Belanda itu tidak segan-segan merongrong kewibawaan ayahku. Demi cinta ibuku dia rela mengorbankan segalanya. Cucuran keringat dan darah tidak menjadi penghalang baginya untuk berjuang. Pernah beberapa kali ayahku berkelahi dengan lelaki Belanda itu. Saat itu ayahku hanya bermodal bambu runcing dan pedang, sedangkan lelaki Belanda punya meriam dan senapan. Tetapi akhirnya pertarungan itu dimenangkan oleh ayahku berkat doa-doa dan bantuan ibuku.Mereka sangat gembira dan berteriak- teriak sambil melambaikan bendera kemenangan.

“Kita menang,” teriak ayah sambil meloncat-loncat kegirangan. “Kita menang,” sahut ibu Sambil mengenang perjuangan dengan perasaan terharu.

Sebagai pasangan suami istri dimana tikar pelaminan yang telah mempersatukan mereka, lalu mereka mengayuh bahtera rumah tangga tanpa ada lagi yang mengganggu. Mereka hidup tentram, rukun, dan damai. Mahligai rumah tangga bagaikan surga dunia yang diberikan Ilahi Ya Rabbi. Mereka saling membagi kasih sayang tidak ada perselisihan pendapat. Walaupun ada tidak seberapa meyakitkan.

Saat itu aku belum tahu apa-apa tentang kehidupan keluargaku. Aku masih kecil jiwaku masih kosong bagaikan u groh atau kelapa muda belum berisi.

Sekarang aku sudah dewasa, sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Rasa pahit, manis, asin, pedas sudah kurasakan bertahun-tahun.

Kedamaian dan ketentraman yang dimiliki keluargaku telah sirna. Hanya tinggal puing-puing dan sobekan kecil. Perselisihan dan perbedaan pendapat antara ayah dan ibuku telah menyeret aku dan saudara- saudaraku ke jurang kesengsaraan yang panjang.

Ibuku menuntut ayahku untuk dicerai dengan alasan dikhianati. Ibuku dulu banyak memberi modal usaha kepada ayahku sehingga ia menjadi kaya raya. Banyak perusahaan ia dirikan, sekarang tinggal dipetik hasilnya. Selain itu, ayahku menggarap tanah subur punya ibuku dan menjual hasil panennya ke luar negeri, sedangkan ibuku hanya diberikan secuil, nol koma sekian persen. Ibuku sangat marah dan bertengkar dengan ayahku.

“Ceraikan aku,” kata ibu sambil melotot.
“Sabar ma, sabar. Kalau tidak keluarga kita akan hancur,” jawab ayah dengan nada agak lembut menahan amarahnya.

Ternyata amarah ibu tidak dapat dibendung lagi, ia terus mencaci maki ayah sambil berteriak-teriak suaranya terdengar sampai ke rumah tetangga.

“Dulu papa menikahiku dengan alasan cinta. Rupanya papa bukan mencintaiku tetapi mencintai harta yang aku miliki. Bekilo-kilogram emas aku sumbangkan untuk modal usaha papa. Sehingga papa menjadi orang kaya raya. Sekarang emas itu papa jadikan hiasan. Papa sangkutkan di ujung tugu yang ada di depan rumah papa di pulau seberang. Dasar penipu, mata keranjang,” begitu ibuku merepet sembari menunjukkan jarinya ke muka ayah.

“Tenang ma, tenang. Ini masalah kita bersama. Kita perlu berdialog mencari solusi, kita perlu hakim,” ucap ayah sambil mengangkat kedua belah tangan nya seperti orang memohon maaf.

Ibuku tidak menghiraukan lagi ucapanya. Ia terus mengungkit- ungkit sejarah lampaunya.

“Aku papa tinggalkan disini dengan deraan penderitaan. Nafkah tidak pernah papa kira. Tidakkah papa ingat jasaku ketika aku belikan dua buah pesawat terbang. Untuk modal usaha papa supaya mudah berbisnis. Sekarang pesawat itu papa gunakan sebagai sarana pelancongan pergi berekreasi ke luar negeri. Papa pergi jalan-jalan melihat Tembok Berlin, Tajmahal, dan melihat Gedung Putih. Sedangkan aku papa tinggalkan disini tanpa kabar sepatah katapun, hanya algojo dan mata-mata yang papa kirim kerumah ini. Dasar penipu,” kembali tudingan telunjuk ibu ke arah hidung ayah.

“Algojo dan mata-mata itu, papa kirim demi keutuhan tali pernikahan kita ma,” jawab ayah.

“Persetan dengan kata-kata papa. Algojo dan mata-mata telah menyiksa dan membunuh anakmu sendiri. Sekarang ceraikan aku titik!.”

Begitulah keadaan keluargaku pertengkaran terjadi hampir saban hari. Namun, ayahku hanya tenang-tenang saja dan selalu berkata: “Tidak ada kata berpisah antara kita berdua, kau tetap isteriku sampai kapanpun.”

Selanjutnya ibuku hanya menunggu. Kata talak tiga tidak pernah keluar dari mulut ayahku. Sedangkan aku dan saudara-saudaraku menunggu kepastian dari ayahku, yaitu diberikan hak untuk memilih. Bergabung dengan ayah untuk berusaha bersama-sama atau bergabung dengan ibuku untuk membangkitkan kembali semangatnya yang sudah rapuh. Tetapi ayahku hanya diam saja, tidak ada kejelasan darinya. Kami hanya diberikan hak untuk mengurus dirinya sendiri. Beban ibuku bertambah berat, ia harus buka usaha sendiri, mengelola sendiri dengan modal sendiri. Anaknya kelaparan dan berkelana dimana-mana.

Ayahku sudah lama tidak pulang ke rumah, ujung pulau ini hanya dijadikan sebagai tempat persinggahan. Ia hanya mengirimkan algojo dan mata-mata untuk memantau gerak-gerik aku, ibu, dan saudara- saudaraku. Algojo itu sering memaki, membentak, dan memukul kami. Algojo itu sangat beringas dan menyeramkan. Kami disiksa dirumah kami sendiri. Terpaksa kami keluar dari rumah sendiri mencari tempat yang aman.

Kadang-kadang kami tidur di masjid dan di bawah tenda biru. Rumput hijau kami jadikan tempat pembaringan. Angin malam menjadi selimut kami. AC alam membuat urat dan tulang kami jadi kering kedinginan. Pohon-pohon lesu penuh rasa kepiluan melihat nasib kami. Burung-burung meneteskan air mata melihat nasib manusia yang terusir dari rumahnya sendiri.

Burung-burung bebas tidur sesuka hati, bebas pulang pergi kesarangnya. Tidak terusir dari sarang sendiri. Burung adalah binatang, punya rasa kasih sayang. Kenapa manusia seperti ayahku yang punya pikiran tidak pernah bersedih dan tidak merasa iba sedikitpun? Kami tidak bisa menjawab, hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Kami hanya bisa berdoa.

Banda Aceh, Oktober 2000