Kabarnanggroe.com, Banda Aceh – Bank Syariah Indonesia (BSI) yang telah mendapat kucuran dana segar dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp 10 triliun harus mampu menggerakkan perekonomian masyarakat Aceh yang masih berjalan stagnan.
Kelompok Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Aceh yang sebagian besar tertatih-tatih dalam membangun usahanya harus mendapat prioritas dari BSI, satu-satunya bank syariah yang mendapat perhatian dari pemerintah Pusat.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sempat menjelaskan, BSI tetap dimasukkan karena punya akses ke Aceh. “Size banknya dan kenapa BSI ikut karena dia satu-satunya bank yang punya akses ke Aceh, supaya dananya bisa juga dimanfaatkan di Aceh sana,” kata Purbaya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (12/9/2025).
Menanggapi hal tersebut, Ketua OKK DPP Ikatan Developer Real Estate Indonesia (Ikaderi), Afwal Winardy ST MT, Selasa (16/9/2025) menyatakan BSI harus transparan dan terbuka dalam menyalurkan kredit kepada kelompok UMKM.
Dikatakan, BSI tidak boleh hanya menunggu bola, tetapi juga menjemput bola ke kelompok UMKM yang tersebar di seluruh wilayah Aceh, mulai dari timur, tengah dan barat-selatan Aceh.
Dengan dana besar yang jika digambarkan dalam miliar berjumlah 10.000 miliar rupiah, maka akan mampu menjangkau seluruh kelompok UMKM dengan beragam usaha, mulai dari pedagang kecil di pasar, usaha rumah tangga, industri rumah tangga sampai pedagang besar.
Dia berharap BSI dapat menopang pendirian pabrik-pabrik di kawasan perkebunan sawit, karet, bahkan kelapa. Pabrik, tentunya, akan menampung jumlah tenaga kerja yang banyak, sehingga sesuai dengan keinginan pemerintah pusat untuk mengurangi angka pengangguran.
Afwal menjelaskan dengan kondisi perekonomian Aceh yang tidak baik-baik saja, maka dukungan perbankan, khususnya BSI yang hanya ada di Provinsi Aceh dalam memajukan kelompok usaha harus gencar dilaksanakan.
Dikatakan, saat ini bukan waktunya untuk terlalu berbelit-belit dalam mengucurkan kredit ke masyarakat dengan alasan capable atau tidak capable, tetapi harus membuka ruang seluas-seluasnya bagi kelompok usaha mendapatkan dana produktif dari BSI dengan sistim bagi hasil atau mudharabah.
Mantan Ketua Apersi Aceh dua periode ini yang telah menjadi sebagai salah seorang Ketua DPP Ikaderi di Jakarta mengharapkan BSI harus melaksanakan sosialisasi tentang dana Rp 10 triliun kepada pelaku bisnis di Aceh, sehingga akan dapat diserap seluruhnya.
Dia mengakui, untuk mendapatkan kredit di BSI yang awalnya diharapkan sebagai motor penggerak perekonomian Aceh, apalagi gedung megah telah dibangun masih terasa sulit dan berbelit-belit.
“BSI masih belum mau membuka diri menerima pengajuan kredit secara luas, hanya pada kelompok-kelompok tertentu yang dianggap capable,” ujarnya. Dikatakan, jika kondisi itu terus berlanjut, maka kemajuan hanya dinikmati sekelompok orang, lainnya harus tetap merintih dalam membangun sebuah usaha.
Afwal mengungkapkan masih banyak pelaku usaha yang belum tersentuh perbankan, padahal capable untuk mendapatkan kredit. “Inilah yang harus dilakukan BSI, jika memang ada niat membantu membangun perekonomian masyarakat Aceh lebih luas lagi,” harapnya.
Dikatakan, sejumlah sektor usaha ada yang tidak percaya lagi dengan bank, seiring pengurusan kredit sangat berbelit-belit, bahkan sudah seperti menjadi pengemis, sebuah hal yang berbanding terbalik di daerah lainnya di Indonesia.
Dia mengungkapkan seperti sektor properti, para developer tidak butuh lagi modal dari perbankan, cukup untuk konsumen yang membeli rumah secara kredit. “Hal ini sudah lama terjadi di Aceh, sehingga sejumlah pengembang di Aceh hanya berjalan seadanya,” katanya.
Ditambahkan, persoalan pilih-pilih nasabah yang mendapat kucuran kredit juga sangat kental di Aceh, sehingga dunia usaha di Aceh tidak berkembang pesat, tetapi secara perlahan-lahan, jika tidak bangkrut.
“Inilah kondisi dunia usaha di Provinsi Aceh hari ini, sikap perbankan tidak juga berubah dari dulu, walau yang beroperasi hanya bank syariah,” katanya. Disebutkan, potensi usaha di Aceh tinggi, tetapi dukungan perbankan tidak sepenuh hati, makanya tidak berkembang.
Dia mencontohkan, seperti sektor kelautan, perkebunan, pertanian dan lainnya masih segelintir orang yang mendapat modal usaha dari perbankan melalui kredit, lainnya hanya mengandalkan modal sendiri.
Bahkan, jika mendapat kredit, pihak perbankan hanya melihat cicilan jatuh tempo, tanpa perlu tahu kondisi si peminjam, sudah berjalan baik atau tidak. Artinya, seusai pinjaman didapat, bank hanya memantau cicilan melalui rekening, tidak memberi pendampingan atau lainnya.
Sementara itu, seorang pengamat perekonomian Aceh, Dr Taufiq A Rahim SE MSi yang dihubungi terpisah menyatakan BSI tidak seksi bagi masyarakat kecil, bahkan tidak dekat dengan basic sektor dan sektor riil di Aceh.
Dia menambahkan dari 5 bank milik pemerintah, BSI mendapat porsi terkecil, sehingga makroekonomi produktif Aceh menjadi scale of preferences yakni daftar keinginan manusia yang disusun berdasarkan tingkat kepentingan atau urgensinya, di mana yang paling penting didahulukan dan yang paling tidak mendesak di urutan terakhir.
Skala ini membantu individu, perusahaan, maupun pemerintah untuk membuat keputusan yang rasional dengan memprioritaskan kebutuhan dan tujuan mereka, sehingga memungkinkan pengelolaan sumber daya yang efisien dan pencapaian kepuasan maksimum.
Taufiq menjelaskan BSI tidak dekat dengan sektor ril dan produktif, tetapi lebih kepada menjaring tabungan masyarakat dan birokrasi bank yang masih menuai masalah. Dia berharap, kondisi ini harus berubah dengan mendekatkan diri ke sektor riil dan produktif, sehingga perekonomian Aceh dapat tumbuh.(Muh)