Disdikbud Kota Banda Aceh Minta Sekolah Perkenalkan Ragam Seni Budaya

*Miliki Qanun Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya

Kabarnanggroe.com, Banda Aceh – Banda Aceh dikenal sebagai tua yang erat kaitannya dengan sejarah gemilang Kerajaan Aceh Darussalam. Di masa kesultanan, Banda Aceh dikenal sebagai Bandar Aceh Darussalam. Kota ini dibangun oleh Sultan Johan Syah pada hari Jumat, tanggal 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M). Saat ini, Banda Aceh telah berusia 818 tahun. Banda Aceh merupakan salah satu kota Islam Tertua di Asia Tenggara.

Kota Banda aceh juga memerankan peranan penting dalam penyebaran islam ke seluruh Nusantara/ Indonesia. Oleh karena itu, kota ini juga dikenal sebagai Serambi Mekkah. Itu sebabnya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Banda Aceh meminta semua sekolah untuk mengenalkan aneka ragam seni budaya yang ada di Kota Banda Aceh, termasuk dengan cagar budaya yang ada.

Banda Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki ragam seni dan budaya yang sangat kaya. Selama ratusan tahun seni dan budaya terus berkembang dalam kehidupan masyarakat di daerah berjuluk Serambi Mekah ini. Meski perang dan konflik pernah melanda Aceh, tapi aktivitas seni tidak pernah padam.

Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Sulaiman Bakri, S.Pd. M.Pd melalui Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Kota Banda Aceh Drs. Husni Alamsyah, mengatakan, enguatan budaya terhadap generasi muda melalui sekolah, saat terus berjalan dengan adanya aktifitas sanggar seni budaya di hampir setiap sekolah di Banda Aceh.

“Hampir rata sekolah di Banda Aceh sudah banyak sanggar seni budaya. Dengan adanya sanggar tersebut berarti telah ikut melindungi seni budaya tradisional Aceh, khusus kegiatan seni yang selama ini sudah berkembang menjadi aktiftas dan kreatifitas mereka,” kata Husni, Jumat (12/4/2024).

Untuk meningkatkan upaya penguatan budaya kepada generasi muda melalui sekolah-sekolah, Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Disdikbud akan mendorong sekolah-sekolah untuk kembali melakukan kegiatan lawatan sejarah cagar budaya bagi siswa-siswi yang pernah dibuat.

“Sekarang kita coba mendorong kembali dari masing-masing sekolah untuk dapat melakukan kegiatan lawatan sejarah ke situs-situs cagar budaya yang ada di wilayah Kota Banda Aceh. Kita harapkan kepada sekolah menyediakan jadwal khusus bagi siswa/siswi untuk lawatan ke situs-situs cagar budaya,” katanya.

Husni menyebutkan, pihaknya akan mendorong sekolah untuk melaksanakan kegiatan lawatan sejarah ke situs -situs cagar budaya. Tujuannya biar bisa membangkitkan motivasi siswa-siswi untuk mengenal sejarah dan cagar budaya. Lawatan siswa/i bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai sejarah cagar budaya yang ada di Kota Banda Aceh dengan melakukan disdkusi dan tanya jawab langsung dengan pemandu dari pegiat sejarah. Serta memberikan pemahaman dan informasi dari suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu.

“Untuk penguatan cagar budaya bagi masyarakat di sekolah, kami juga menyiapkan sosialisasi dan menyampaiklahan ke pihak sekolah, terutama kepala sekolah, agar dapat sama- sama kita melindungi, menjaga dan melestarikan warisan budaya di Kota Banda Aceh,” ujarnya.

Qanun Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Tahun 2021 yang lalu Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh menggelar rapat paripurna pengesahan tiga Rancangan Qanun (Raqan) Kota Banda Aceh menjadi qanun. Ketiga raqan yang disahkan hari itu merupakan raqan usulan inisiatif DPRK Banda Aceh, yaitu Raqan tentang Penyelenggaraan Perpustakaan, Raqan tentang Penyelenggaraan Pariwisata Halal, dan Raqan tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya.

Menurut Husni, tujuan pembuatan qanun tersebut untuk membuat payung hukum terhadap situs bersejarah yang ada di wilayah Banda Aceh.

“Karena dengan adanya payung hukum, maka artinya situs-situs sejarah di Banda Aceh akan terlindungi, dan tidak boleh diganggu lagi,” ucapnya.

Kemudian, kata Husni, dengan adanya payung hukum cagar budaya ini, maka dipastikan situs-situs budaya dan sejarah dapat terselamatkan, karena akan ada sanksi tegas terhadap pelanggar atau perusak situs sejarah.

Ia menuturkan, peraturan tersebut juga mengatur tentang penetapan situs cagar budaya dengan peringkat situs yang telah ditetapkan, terutama yang berada di bawah pengawasan Pemerintah Kota banda Aceh.

“Ada situs sejarah yang di bawah pengawasan kota, kemudian ada yang pengawasan tingkat provinsi, hingga pengawasan tingkat pusat,” katanya pula.

Berdasarkan data BPCB Aceh, tempat bersejarah di Kota Banda Aceh yang telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya, yakni Kompleks Makam Kandang Meuh, Makam Raja-raja Dinasti Bugis. Kemudian, juga ada Makam Kandang XII, Makam Raja Jalil, Makam Poteumeureuhom, Makam Syiah Kuala, dan Makam Tgk Di Blang Oi.

Lima Jenis Cagar Budaya Sementara itu, lima jenis cagar budaya yaitu benda budaya, bangunan, struktur, situs dan kawasan cagar budaya ada di Banda Aceh. Semua terdata dan tetap dalam perawatan, pemeliharaan serta terjaga kebersihannya.

Husni menyebutkan, sesuai hasil pendataan terdapat 72 situs cagar budaya dari semua jenis tersebut di Banda Aceh.

Ia merincikan, dari 72 situs cagar budaya itu masing-masing terdiri dari 1 unit benda cagar budaya, bangunan 15 unit, situs 42, struktur cagar budaya 13 dan 2 kawasan cagar budaya
Dijelaskannya, jenis benda cagar budaya yang dimiliki Banda Aceh yaitu Lonceng Cakra Donya yang berada di Museum Aceh Rumah di kawasan Gampong Peuniti.

Untuk jenis bangunan cagar budaya ada 15 bangunan yaitu Pendopo Gubernur, Gedung Bapperis, Gedung Sentral Telepon Belanda, Geudung Bank Indonesia, Masjid Raya Baiturrahman, Gedung Landraad Koeta Radja,Tower Air Belanda, Rumah Opsir Militer Belanda, Meuseum Rumoh Aceh, Rumah Teuku Nyak Arief, Bangunan Instalasi Air, Masdjid Baiturrahim, Mesjid Tuha Ulee Kareng, Masjid Tuha Lueng Bata dan SMA Negeri 1.

Sedangkan situs cagar budaya berupa makam-makam raja dan ulama, kawasan cagar budaya yaitu Gampong Pande dan rumah toko (Ruko) lama di Gampong Peunayong. Dari semua jenis cagar budaya itu sebagian ada milik pribadi dan lembaga.(AMZ)