Festival Teut Apam Bagian Pestarian Tradisi Indatu

Ketua DPRK Banda Aceh, Farid Nyak bersama Pj Wali Kota Banda Aceh, Bakri Siddiq saat berdialog dengan para peserta festival Toet Apam di halaman Taman Budaya, Banda Aceh, Minggu (12/03/2023). FOTO/ BEDU SAINI

Kabarnanggroe.com, Banda Aceh – Festival teut apam jadi momen penting dalam melestarikan tradisi indatu, seluruh gampong (red-desa) di Kota Banda Aceh mengikuti memperebutkan Piala Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kota Banda Aceh Farid Nyak Umar.

Pembukaan festival tersebut ditandai dengan pemukulan rapai, yang dipimpin oleh Penjabat (Pj) Wali Kota Banda Aceh H Bakri Siddiq, bersama Ketua DPRK Banda Aceh Farid Nyak Umar dan beberapa Pejabat Pemerintahan Kota Banda Aceh, di Taman Budaya, Banda Acwh, Minggu (12/3/2023).

Dengan menampilkan teknis teut apam secara tradisional, asap yang menggepul tidak menyurutkan antusias peserta, serta pengunjung yang hadir dalam warnai kemeriah festival tersebut.

Pada kesempatan itu, Pj Wali Kota Banda Aceh Bakri Siddiq mengatakan, pelaksanaan kegiatan tersebut membawa kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri, hal tersebut jadi bagian dalam pelestarian tradisi keneubah indatu.

“Ini tradisi keneubah indatu, harus tetap dilestarikan dan diperkenalkan pada generasi penerus,” ucapnya.

Ia menegaskan, dalam upaya pelestarian adat budaya dan tradisi, wajib belajar bahasa Aceh diterapkan pada persekolahan pada setiap hari Kamis di Kota Banda Aceh untuk jenjang SD hingga SMP.

“Semua itu dilakukan, untuk aneuk-aneuk geutanyoe (red-anak-anak kita) mengerti bahasa Aceh,” ujar Bakri dengan bahasa khas.

Ketua DPRK Banda Aceh Farid Nyak Umar menjelaskan, festival teut apam tersebut bukan hanya sekedar tradisi, hal itu juga untuk menggerakkan ekonomi serta membangkitkan pariwisata. “Semoga hal ini tetap bergulir menjadi agenda wisata,” terangnya.

Kemudian, Ia menyampaikan, kegiatan tersebut merupakan warisan indatu yang harus dilestarikan. Beberapa makna juga terkadung dalam kegiatan tersebut, di antaranya sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta, spirit agama yang timbul dalam pelaksanaanya, selanjutnya spirit budaya, nilai pendidikan, serta mengandung nilai ekonomis.

“Sebagian masyarakat kita, menjadikan teut apam sebagai profesi dalam menunjang dan mencukupi kebutuhan sehari-harinya,” kata Farid.

Kemudian, sambungnya lagi, dalam pelaksanaan tersebut tidak menggunakan teknologi yang ada. Hal itu untuk menampilkan kebiasaan yang ada sejak zaman indatu.

“Apam yang dimasak dengan kompor tidak akan menghasilkan kualitas yang maksimal, baik secara tekstur, aroma, maupun rasanya,” sebut Ketua DPRK.

Sejumlah peserta dari berbagai Gampong se – Kota Banda Aceh mengikuti festivat Toet Apam memperebutkan Piala Bergilir Ketua DPRK Kota Banda Aceh, di halaman Taman Budaya, Banda Aceh, Minggu (12/03/2023). FOTO/ BEDU SAINI

Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Pelajar dan Masyarakat (IMPM) Mutiara Raya Zulmahdi Hasan mengungkapkan, ada beberapa kuliner Aceh yang belum tereksplorasi, diantaranya dughok, eungkhui, leumang, dan masih banyak lainnya.

“Untuk itu, kita harap tidak hanya apam yang jadi patokan dalam pelestariannya,” jelasnya.

Ia menerangkan, pembahasan terkait apam sering kali diartikan dalam bahasa yang negatif dan minor. Hal itu disebabkan kurangnya pengetahuan terkait filosofi sebenarnya tentang apam.

“Apam sering disalahkan, bahkan sering diartikan kearah yang negatif,” sambung Zulmahdi Hasan.

Sementara itu, Kepala Dinas (Kadis) Pariwisata Kota Banda Aceh Said Fauzan sebelumnya juga menyebutkan, Aceh sebenarnya kaya akan sejarah dan tradisi dan perlu adanya peningkatan. Festival tersebut sebagai permulaan dalam menjaga tradisi, serta mengangkat filosofi.

“Dari sekian banyak keneubah indatu, kita perlu memanfaatkannya dalam meningkatkan sektor budaya, yang memberikan perkembangan dalam industri pariwisata dengan menampilkan ke khasannya,” pungkasnya.(Adv)