Kabarnanggroe.com, Sesuatu yang paling mulia pada manusia adalah hati. Karena sesungguhnya hatilah yang mengetahui Allah Swt, yang beramal untukNya, dan yang berusaha menuju kepadaNya. Anggota badan hanya menjadi pengikut dan pembantu hati, layaknya seorang budak yang membantu raja. Barangsiapa mengetahui hakikat hatinya, ia akan mengetahui hakikat RabbNya. Namun mayoritas manusia tidak mengetahui hati dan jiwanya.
Ketahuilah, bahwa hati secara fitrahnya, mau menerima petunjuk. Hanya saja hati dihiasi oleh syahwat dan hawa nafsu. Perumpamaan hati seperti sebuah benteng, sedangkan setan adalah musuh yang hendak memasuki benteng itu lalu menguasainya. Tidak mungkin benteng itu terjaga kecuali dengan menjaga pintu-pintunya. Dan orang yang tidak mengetahuinya tidak mungkin mampu menjaganya, begitu pula tidak mungkin menghalangi setan kecuali dengan mengetahui jalan masuknya.
Diantara jalan-jalan masuk setan adalah hasad (dengki), ambisi duniawi, marah, syahwat, cinta berhias, kenyang, tamak, terburu-buru, cinta harta, fanatik mazhab, buruk sangka, dan lain-lain.
Hati dalam Islam
Abu Hurairah r.a berkata, “Hati adalah raja dan anggota badan adalah anggotanya. Apabila rajanya baik maka baik pula para anggotanya dan apabila rajanya rusak maka rusak pula para anggotanya.” (Mushannaf Abdurrazaq – bab Al-Qalb)
Atsar ini menunjukkan posisi sentral dari hati. Oleh karenanya, Islam telah memberikan perhatian yang sangat besar kepada amalan hati dan menjadikannya sebagai inti persoalan iman. Ia merupakan poros dari persoalan iman yang berputar mengitarinya. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw, “Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh ini ada segumpal daging. Bila ia baik maka akan baik seluruh tubuh dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati.” (Shahih Al-Bukhari 52 (1/20) dan Shahih Muslim 4178 (5/50)
Berdasarkan hal itu, Prof. Dr. Abdullah bin Umar dalam kitabnya Muqadimah fi A’amlil Qulub wa Dharuratil ‘Inayah Biha, menjelaskan bahwa sesungguhnya amal hati itu merupakan bagian dari pokok-pokok iman dan kaidah-kaidah agama ini.
Amalan Hati Ibadah
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid dalam bukunya silsilah A’malil Qulub menjelaskan bahwa amalan hati adalah amal-amal yang tempatnya adalah di hati dan mencakup beberapa macam bentuk amalan. Diantaranya ikhlas, yakin, tafakkur, khusyu’, muraqabah, wara’, tawakal, mahabbah/cinta, raja’ (pengharapan kepada Allah). khauf (rasa takut kepada Allah), sabar, ridha, syukur, ghairah (cemburu), malu dan taubat. Dan amalan hati yang paling agung adalah beriman kepada Allah Swt yang mengandung pembenaran, ketundukan dan pengakuan.
Allah Swt telah menciptakan seluruh makhluk dengan tujuan besar yaitu mewujudkan ibadah kepada-Nya semata sebagaimana firmanNya, ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzariyat: 56)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ fatawa telah mengenalkan sebuah definisi ibadah dengan ungkapan yang sangat menyeluruh cakupannya, “Ibadah adalah ungkapan yang meliputi apa saja yang dicintai dan diridhai oleh Allah Swt baik berupa perkataan dan perbuatan yang batin (tidak nampak) dan yang zhahir (nampak).
Misalnya, shalat, zakat, puasa, haji, bicara jujur, melaksanakan amanat, demikian pula cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah dan inabah kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya.”
Definisi yang komprehensif ini menjelaskan bahwa ibadah itu ada dua macam: Pertama, perkataan dan perbuatan yang terlihat. Inilah ibadah badaniyah, ibadah yang dilakukan anggota badan. Kedua, perkataan dan perbuatan yang tidak terlihat. Inilah ibadah qalbiyah, ibadah yang dilakukan oleh hati.
Dengan demikian, setiap ibadah itu ada yang berbentuk zhahir dan bathin. Yang zahir perkataan lisan dan perbuatan anggota badan. Dan yang bathin adalah perkataan hati dan amal hati. Keduanya masuk dalam kategori ibadah.
Demikian pula, ia menjadi sebab dalam pahala. Kekurangan dalam salah satu satu dari kedua jenis ibadah tersebut berarti merupakan kekurangan dalam ibadah itu sendiri sebagaimana kesempurnaan dalam ibadah itu terkait dengan kesempurnaan ibadah secara zahir dan batin.
Selanjutnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amal-amal yang zhahir itu tidak akan menjadi baik dan diterima kecuali dengan perantaraan amal hati.” (Majmu’ fatawa: 10/149)
Misalnya, shalat itu ada ibadah zhahirnya yaitu berupa rukun-rukun shalat, hal-hal yang wajib dan sunnah dalam shalat. Shalat juga ada ibadah batinnya yaitu khusyu’, tenang (ikhbat) dan ikhlas dan lain-lain.
Amalan Hati
Nabi saw pernah bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq mereka (kurma atau gandum sebanyak) dua genggam tangan atau segenggam tangan” (HR Al-Bukhari no 3673 dan Muslim no 221)
Imam Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitab Fathul Baari 7/34 menjelaskan makna hadits di atas bahwa Para sahabat mendapatkan kemuliaan yang luar biasa meskipun hanya menginfakan satu mud makanan atau setengah mud bahkan lebih baik dari orang yang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud. Hal ini disebabkan karena (mereka) yang lebih utama (yaitu para sahabat) disertai dengan keikhlasan yang lebih dan niat yang benar (sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 7/34)
Hal ini juga dijelaskan dalam kitab Minhaajus sunnah 6/136-137 bahwa amalan-amalan berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan perbedaan tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Dan sungguh ada dua orang yang berada di satu shaf shalat akan tetapi perbedaan nilai shalat mereka berdua sejauh antara langit dan bumi.
Dari sini, jelaslah bagi kita rahasia kenapa Allah Swt menjadikan pahala sedikit infak yang dikeluarkan oleh para sahabat lebih tinggi nilainya dari beribu-ribu ton emas yang kita sedekahkan. Sesungguhnya amalan-amalan hati para sahabat sangatlah tinggi, keimanan para sahabat sangatlah jauh dibandingkan keimanan kita. Mungkin kita bisa saja menilai amalan dzahir seseorang, akan tetapi amalan hatinya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Swt. Para sahabat yang luar biasa amalan dzahirnya bisa saja ada seorang tabiin yang meniru mereka akan tetapi yang menjadikan mereka tetap istimewa adalah amalan hati mereka yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah Swt.
Penyebab Kebinasaan
Dari sekian banyak penyakit hati, Imam al Ghazali dalam kitab Bidayah Al Hidayah menyampaikan ada tiga sifat hati yang sangat jahat. Sifat tersebut ghalib wujud (kebanyakan ada) di kalangan ulama di zaman sekarang.
Tiga sifat hati yang jahat tersebut akan menimbulkan kebinasaan kepada pemiliknya dan akan menjadi penyebab lahirnya sifat-sifat tercela lainnya. Tiga sifat hati itu antara lain hasad (dengki), riya (pamer dan berbuat baik karena ingin dipuji orang lain), dan ujub (angkuh, sombong dan berbangga diri).
Imam al Ghazali mengutip hadist dari Rasulullah saw, ”Ada tiga sifat yang dapat membinasakan manusia, sikap bakhil yang dipatuhi, hawa nafsu yang diikuti, dan merasa bangga dengan diri sendiri.” Sembari Imam al Ghazali menjelaskan bahwa sifat hasad adalah cabang dari sifat bakhil. Karena orang bakhil adalah orang yang tidak mau memberi sesuatu yang ada di tangannya kepada orang lain.
Selanjutnya Imam al Ghazali menyampaikan, setiap mukmin harus bersungguh-sungguh membersihkan hati dari sifat hasad, riya, dan ujub. Kalau hati tidak bisa suci dari ketiga sifat tersebut, maka hati tidak akan mampu menghadapi sifat-sifat tercela lainnya yang muncul dan merasukinya.
Akhirnya, mari kita berlindung kepada Allah Swt dari hati yang dirasuki setan, terus berusaha untuk mensucikan hati kita dalam beribadah dan selalu berdoa sebagaimana yang Rasulullah saw ajarkan melalui hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, ”Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kepikunan, sifat pengecut, sifat kikir, dan azab kubur. Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau adalah Pemilik dan Yang Menguasainya. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah kenyang (puas), dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari doa yang tidak diperkenankan”. (editor: smh)