Tradisi Tulak Bala atau Rabu Abeh Tak Lekang Digerus Zaman

Para tetua gampong melakukan doa bersama untuk memohon dihindari dari berbagai bala dalam tradisi Tulak Bala atau Rabu Abeh di Aceh Selatan. FOTO/SCREENSHOT

Banda Aceh – Tradisi Tulak Bala atau Rabu Abeh sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh setiap setahun sekali, khususnya pada bulan Shafar yang diyakini identik dengan cuaca pancaroba atau tak menentu serta mempunyai aura yang kurang baik.

Tradisi ini ditandai dengan warga yang berduyun-duyun menuju ke pantai, sungai, atau tempat lainnya, untuk sekadar menggelar doa dan makan bersama. Inti dari tradisi ini ialah doa bersama yang dipimpin oleh seorang teungku.

Di beberapa daerah juga ada juga kegiatan mandi kembang bersama dengan tujuan membuang seluruh aura negatif. Tradisi Tulak Bala di Aceh merupakan ritual tolak bala atau penangkal musibah yang kental dengan nilai Islam dan adat, biasanya dilakukan pada Rabu terakhir bulan Safar (Rabu Abeh).

Kegiatan ini melibatkan doa bersama, zikir, shalawat, dan terkadang mandi di laut/sungai, makan bersama (kenduri), serta ritual simbolik seperti jalateh (tongkat bambu berisi ijuk) untuk mengusir bala dan memohon keselamatan dari Allah SWT, sering diadakan di pesisir pantai atau tepi sungai, menjadi momen kebersamaan desa, dan kini juga diisi aktivitas rekreasi.

Berasal dari kepercayaan lokal yang diislamkan, tujuannya membersihkan kampung dari energi negatif dan memohon perlindungan dari bencana alam atau penyakit Keyakinan Rabu terakhir Safar adalah hari turunnya banyak musibah (sekitar 320.000 bala) membuat tradisi ini penting.

Doa zikir diimulai dengan doa-doa khusus, Yasin, dan shalawat yang dipimpin tokoh agama untuk memohon perlindungan. Mandi di laut atau sungai sebagai simbol membersihkan diri dari bala, dilakukan secara massal atau individu.

Kenduri atau makan bersama dengan hidangan khas (nasi bungkus daun pisang), menciptakan kebersamaan. Kini sering diisi dengan kegiatan santai di pantai atau sungai setelah ritual utama selesai.

Menganggapnya kearifan lokal yang relevan jika selaras dengan syariat Islam, bukan bertentangan dan edukasi penting agar tidak terjadi penyimpangan akidah. Sangat kuat di wilayah Barat Selatan Aceh yakni Aceh Barat dan Aceh Selatan dan juga di wilayah pesisir lainnya.

Ritualitas ini menandai kekayaan budaya Aceh yang melimpah, dengan memiliki berbagai tradisi yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Salah satu tradisi yang menarik, upacara Uroe Tulak Bala, sebuah ritual yang dilakukan untuk menolak musibah dan bencana.

Upacara ini dilaksanakan setiap tahun pada akhir bulan Safar, sesuai dengan kalender Hijriyah. Tulak Bala merupakan tradisi yang telah ada sejak lama di pantai barat selatan Aceh, khususnya di daerah Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Selatan, Singkil, dan Aceh Barat Daya.

Tradisi ini dilaksanakan dengan tujuan menolak bala atau musibah yang dianggap dapat menimpa manusia pada bulan Safar. Awalnya, kegiatan ini dilakukan dengan cara doa bersama di pantai yang diikuti oleh seluruh masyarakat desa.

Kegiatan ini sebagai bentuk permohonan kepada Allah untuk melindungi mereka dari bencana. Namun, seiring berjalannya waktu, Upacara Uroe Tulak Bala telah mengalami perubahan. Saat ini, upacara ini seringkali menjadi ajang rekreasi keluarga, termasuk untuk anak-anak yang senang bermain di pantai.

Meskipun telah berlangsung lama, catatan sejarah mengenai asal mula tradisi ini belum ditemukan secara jelas. Menurut beberapa tetua desa, tradisi ini berkaitan dengan kitab Kanzun Najah wa As-Surur pada halaman 24, yang mungkin menjadi referensi awal mengenai ritual menolak musibah ini.

Kepercayaan masyarakat terhadap Bulan Safar Bulan Safar dalam kalender Hijriyah memiliki makna khusus dalam kepercayaan masyarakat Aceh. Kepercayaan ini berakar dari cerita bahwa Nabi Muhammad SAW mulai jatuh sakit dan meninggal dunia pada bulan ketiga dalam tahun tersebut.

Para tetua gampong makan bersama seusai doa bersama dalam tradisi Tulak Bala atau Rabu Abeh di Aceh Selatan. FOTO/SCREENSHOT

Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat Aceh menganggap bulan Safar sebagai bulan yang berbahaya dan penuh musibah. Karena kepercayaan ini, masyarakat Aceh merasa perlu melakukan ritual untuk memohon perlindungan dari Allah dan menolak musibah yang mungkin datang.

Upacara Uroe Tulak Bala menjadi salah satu cara untuk mengatasi ketakutan tersebut dan meminta keselamatan serta perlindungan bagi diri mereka dan keluarga. Pelaksanaan Upacara Uroe Tulak Bala Upacara Uroe Tulak Bala biasanya dilaksanakan pada akhir bulan Safar.

Ritual ini dimulai dengan berkumpulnya masyarakat di pantai. Dalam tradisi awal, upacara ini dilakukan dengan doa bersama yang melibatkan seluruh warga desa. Doa-doa tersebut ditujukan untuk memohon perlindungan dan keselamatan dari Allah.

Uroe Tulak Bala juga bukan hanya bermakna simbolik sebagai penangkal bencana, tetapi juga menjadi momen rekonsiliasi sosial. Di tengah kesibukan hidup sehari-hari dan potensi konflik horizontal yang bisa muncul di masyarakat, tradisi ini menjadi sarana yang efektif untuk mempererat kembali jalinan silaturahmi.(Adv)