Peutron Aneuk, Adat Aceh Selaraskan Injak Bumi Pertama Kalinya Bagi Sang Anak

Seorang ayah menurunkan bayinya di atas tanah sambil ditumpahi air kelapa dalam tradisi peutron aneuk di Aceh. FOTO/SCREENSHOT

Banda Aceh – “Peutron Aneuk” merupakan upacara adat Aceh yang berarti menurunkan anak menginjak tanah atau bumi untuk pertama kali dalam hidupnya dan memperkenalkan bayi yang baru lahir ke lingkungan sekitar sebagai bentuk rasa syukur dan harapan keselamatan.

Ada ini ini biasanya dilakukan saat bayi berusia 7 hingga 44 hari, dan sering kali bersamaan dengan acara akikah, dan mencakup berbagai prosesi seperti peusijuek dan peucicap, yang diakhiri dengan doa dan syukuran.

Dengan ritual ini, tentunya sang orang tua ingin memperkenalkan bayinya ke alam dengan dibawa keluar rumah dan kakinya diinjakkan ke tanah untuk pertama kalinya dan juga sebagai bentuk ungkapan ras syukur kepada Allah atas anugerah kelahiran seorang anak dan memohon keberkahan dan keselamatan bagi anak dan keluarganya.

Sejumlah prosesi simbolis seperti pembelahan kelapa diharapkan akan membuat anak tidak mudah takut pada suara petir dan tidak mudah takut menghadapi kerasnya kehidupan kelak beranjak dewasa.

Prosesi diawali dengan peusijuek untuk mendoakan bayi agar terhindar dari musibah dan biasanya menggunakan bahan-bahan seperti nasi ketan, daun seneujuk, dan beras yang diwarnai. Kemudian kuko ‘ok (potong rambut) sebagian rambut bayi dengan harapan untuk membersihkan kotoran yang ada.

Selanjutnya, membelah buah kelapa di atas kepala bayi untuk simbolisme tertentu, seperti kerukunan keluarga atau agar anak tidak takut petir. Peucicap, untuk memberi rasa buah-buahan dan lainnya kepada bayi, kemudian bayi dikenakan sehelai kain yang dibentangkan, lalu kaki bayi diinjakkan ke tanah di bawah kain tersebut.

Diakhiri dengan membacakan selawat atau shalawat nabi untuk mendoakan dan memuji Nabi Muhammad SAW. Waktu pelaksanaan tergantung pada keluarga dan tradisi, upacara bisa dilaksanakan pada usia bayi yang berbeda, seperti 7 hari, 44 hari, atau 3 bulan.

Beberapa daerah mungkin membawa bayi ke masjid, ke makam keramat, atau hanya berkeliling di sekitar rumah. Beberapa simbol memiliki penafsiran yang berbeda di setiap daerah atau keluarga. Sebagai contoh, pembelahan kelapa juga dapat diartikan sebagai simbol kelanggengan hubungan batin antara anak dan orang tuanya.

Peutron Aneuk merupakan tradisi sakral bagi masyarakat Aceh yang digelar setelah anak dianggap cukup umur; genap 44 hari, tiga bulan, lima bulan, hingga tujuh bulan. Sebelum upacara digelar, si bayi pantang dibawa keluar rumah, kecuali dalam kondisi tertentu.

Seorang pemuka agama akan memimpin ritual adat itu. Di sisinya telah tersedia sebuah talam (baki), yang di dalamnya berisikan sari kurma, ketan kuning, air zamzam, ayam panggang, serta bermacam buah manis lainnya ke lidahnya dengan tujuan indera perasanya lebih sensitif. Tetapi, bagi orang kurang mampu, hanya sekedarnya saja.

Ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok marhaban membacakan ayat-ayat suci Quran dalam rangkaian tradisi peutron anek di Aceh. FOTO/SCREENSHOT

Sementara itu, mengeluarkan bayi dari rumah setelah cukup usia atau peutroen aneuk disertai peucicap, dipercaya sudah ada sejak zaman pertengahan abad 13 Masehi atau masa Kerajaan Islam Samudera Pasai.

Tradisi ini makin berkembang tiga abad kemudian pada masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam. Warisan sultan ini terus diperingati secara turun-temurun di kalangan warga bumi Serambi Makkah hingga sekarang.

Hal itu diungkapkan Pemerhati Sejarah Aceh yang juga Kolektor Manuskrip, Tarmizi Abdul Hamid. Menurutnya, tradisi peutroen aneuk sudah dikenal sejak masa Kerajaan Pasai yang didirikan Malik Al-Saleh atau Meurah Silu tahun 1267 Masehi.

“Kemudian masa Kerajaan Aceh Darussalam, diimplementasikan kembali menjadi reusam negeri,” katanya kepada Okezone di Banda Aceh beberapa waktu lalu.Ketika Sultan Iskandar Muda lahir pada 1593 M, tutur Tarmizi, istana menggelar upacara peutroen aneuk dengan meriah yang kemudian menginspirasi rakyat melakukan prosesi serupa.

Dia menjelaskan pada masa itu, jika yang di-peutroen adalah bayi laki-laki, biasanya ikut dibunyikan meriam secara bersahutan. Pendekar ikut menghunus pedang, kemudian memotong tiga batang pisang.

Meski sudah menjadi tradisi turun-temurun, Peutron Aneuk bukan hanya sekadar ritual, melainkan mengandung makna yang sangat mendalam bagi perkembangan anak di masa depan. Tradisi ini dianggap sebagai doa dan harapan bagi bayi tersebut.

Harapannya, kelak saat dewasa, anak yang telah mengikuti tradisi ini akan tumbuh menjadi pribadi yang memiliki keberanian, ketekunan, dan semangat yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Selain itu, tradisi ini juga mempererat hubungan antaranggota keluarga. Melalui pelaksanaan Peutron Aneuk, seluruh keluarga berkumpul, saling berbagi kebahagiaan, dan mempererat tali silaturahmi, yang tentu saja penting untuk membangun ikatan sosial yang lebih kuat dalam komunitas.(Adv)