Ayo, Kenali Rumah Adat Aceh, Temukan Keunikan di Dalamnya

Rumoh Aceh di Museum Aceh Banda Aceh. FOTO/DOK.DISBUDPAR ACEH

kabarnanggroe.com – Rumoh Aceh atau rumah Aceh telah banyak ditinggalkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, khususnya pada era modern yang serba canggih dalam pembangunan rumah, bukan hanya batu bata atau batako, tetapi berbagai jenis lainnya sesuai kebutuhan masyarakat.

Aceh yang disebut sebagai daerah ujung kulon dan dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah menyimpan sejarah panjang dan istimewa dengan budaya khas yang menjadi ciri khas dari masyarakat Aceh.

Dalam sejarah Aceh, banyak yang menyakini bahwa penduduk yang tinggal di daerah Aceh ini bukan asli dari suku Aceh, melainkan dari suku Mente yang asli dari ras Melayu. Tidak sedikit juga masyarakat Aceh yang merupakan keturunan India, Arab, Persia maupun Turki.

Namun tetap saja kebudayaan masyarakat Aceh ini, masih sangat kental sekali dengan kebudayaan orang Indonesia, mulai dari bahasa, pakaian adat, tari-tarian, rumah adat sampai makanan khasnya.

Kali ini, cukup dengan rumah adat Aceh yang biasa dikenal dengan nama Rumoh Aceh atau Krong Bade. Namun ada beberapa hal yang unik dan menjadi ciri khas dalam rumah adat, rumah seperti panggung dengan tinggi sekitar 2,5 meter sampai 3 meter.

Material yang digunakan dalam pembangunan rumah adat ini adalah kayu dan atapnya berasal dari anyaman dari daun enau atau daun rubia. Ada beberapa faktor yang membuat rumah adat khas Aceh ini kuat dan kokoh, namun keunikannya terdapat pada kolong dari bawah rumah ini yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan bahan makanan.

Sedangkan untuk bagian panggungnya sebagai tempat istirahat atau penerima tamu. Keunikan yang kedua dalam rumah panggung dari Aceh ini adalah tangga yang digunakan sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, anak tangga tersebut berjumlah ganjil.

Rumoh Aceh dipercaya sudah ada sejak era Kesultanan dengan rumah yang bentuknya nyaris sama dengan rumoh Aceh yang dikenal saat ini, seperti rumah pahlawan nasional Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia.

Bagi Aceh, segala sesuatu yang dilakukan, selalu berlandaskan kitab adat yang dikenal dengan sebutan ‘Meukeuta Alam’. Salah satu isi di dalam terdapat tentang pendirian rumah. Di dalam kitab adat menyebutkan:

”Tiap-tiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tiang di atas itu hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit”. Kain merah putih yang dibuat khusus di saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tamèh raja dan tamèh putroë”.

Oleh karenanya terlihat bahwa Suku Aceh bukanlah suatu suku yang melupakan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dalam kitab tersebut juga dipaparkan bahwa; dalam Rumoh Aceh, bagian rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya.

Menurut adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh di pra-é, atau dibelokkan dari hukum waris. Jika seorang suami meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau menjadi milik isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan.

Untuk itu, dalam Rumah Adat Aceh, istilah yang dinamakan peurumoh, atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah orang yang memiliki rumah. Rumoh Aceh bermaterial kayu pilihan. Kayu tersebut digunakan sebagai tiang-tiang penyangga rumah yang berjumlah 16, 24 atau 32 tiang.

Terdiri dari 16 tiang untuk rumah bertipe 3 ruangan, 24 tiang untuk rumah bertipe 5 ruangan dan 32 tiang untuk rumah bertipe 7 ruangan. Sedangkan dinding rumah bermaterial papan keras yang dilengkapi ukiran khas Aceh.

Begitu juga dengan alas rumah yang terbuat dari papan, papan-papan tersebut hanya disematkan begitu saja tanpa dipaku sehingga mudah dilepas dan memudahkan ketika pemandian jenazah karena air tumpah langsung ke tanah.

Adapun atap bermaterial daun rumbia. Daun rumbia bersifat ringan dan memberikan efek sejuk kepada rumah, selain itu struktur anyaman yang ditali dapat dipotong dengan mudah jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran. Dalam memperkuat bangunan rumah Aceh tidak menggunakan paku, melainkan memakai pasak atau pengikat dari tali rotan.

Tidak diketahui pasti sejak kapan Rumoh Aceh dibuat oleh orang Aceh, namun keberadaan Rumoh Aceh pernah diungkapkan oleh Siegel (1979: 147) yang terkait dengan ukirannya setelah membaca Hikayat Peoecoeat Moehamat, yang menyebutkan bahwa menjelang abad ke-18 semakin banyak rumah adat Aceh dihiasi dengan corak-corak ukir.

Rumah Aceh tidak hanya berfungsi sebagai hunian, tetapi juga mencerminkan keyakinan kepada Tuhan. Hal tersebut terlihat dari bangunan rumah yang berbentuk segi empat dan memanjang dari timur ke barat membentuk garis imajiner ke Ka’bah.

Bagian sisi rumah yang menghadap barat dan timur pun berfungsi mengantisipasi badai. Hal ini karena angin badai di Aceh jika tidak bertiup dari barat, maka akan bertiup dari Timur. Fungsi lainnya menunjukkan status sosial pemiliknya.

Ruangan dalam Rumoh Aceh di Museum Aceh Banda Aceh. FOTO/DOK.DISBUDPAR ACEH

Semakin banyak hiasan maka semakin kaya pemiliknya dan untuk pemilik sederhana, hiasannya relatif sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Rumah yang berbentuk panggung menyebabkan terdapat jarak antara permukaan tanah dengan lantai dasar.

Biasanya jarak lantai dasar dari permukaan tanah terpisah 9 kaki atau lebih. Desain ini memiliki fungsi keselamatan dari gangguan binatang buas dan bencana banjir. Maksudnya, jika terjadi banjir maka penghuni rumah tidak ikut kebasahan atau pun terbawa arus banjir.

Sedangkan bagian pintu dibangun setinggi 120–150 cm, hal tersebut membuat orang yang masuk harus sedikit menunduk ketika memasuki rumah. Filosofi menunduk ini adalah sebuah bentuk penghormatan kepada pemilik rumah tanpa melihat status sosial atau derajat sang tamu.

Konsekuensi dari bentuk rumah yang panggung menyebabkan rumah Aceh mempunyai tangga, anak-anak tangganya sengaja berjumlah ganjil. Menurut adat Aceh, angka ganjil bersifat unik dan sulit ditebak.(Adv)