Pustakawan Tambal Sulam: Ketika Jantung Sekolah Dikelola oleh Non-Ahli

Oleh: Nabila - Mahasiswi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Nabila

Kabarnanggroe.com, Perpustakaan sekolah yang secara retoris selalu dimuliakan sebagai pusat sumber belajar atau “jantung” institusi Pendidikan, hari ini menghadapi ironi yang sangat meresahkan: pengelolaan intinya seringkali diserahkan kepada staf yang bukan ahlinya. Sudah menjadi rahasia umum di lingkungan akademik, dan hasil studi kasus berulang kali mengonfirmasikannya, bahwa jabatan fungsional Pustakawan di banyak sekolah, terutama di tingkat dasar dan menengah, diduduki oleh guru mata pelajaran yang kebetulan kelebihan jam mengajar, atau staf administrasi yang ditunjuk seadanya.

Bahkan, dalam kasus yang paling memprihatinkan, jabatan perpustakaan pernah dijadikan “tempat pembuangan” sementara bagi guru yang sedang menghadapi masalah disiplin. Praktik “penugasan darurat” ini bukan sekadar solusi efisiensi anggaran yang cerdik; sebaliknya, ini adalah sebuah peremehan struktural yang secara mendasar merusak kualitas layanan, menyiratkan bahwa profesi Pustakawan yang esensinya adalah ilmu kompleks tentang manajemen informasi dan literasi dapat dilakukan oleh siapa saja yang “menganggur.” Ini adalah serangan tidak langsung terhadap kualitas pendidikan nasional.

Penempatan staf non-Pustakawan di perpustakaan sekolah adalah krisis profesionalitas yang secara sistematis menggerus kualitas literasi, kemampuan riset, dan kompetensi digital siswa. Krisis ini terjadi karena kegagalan sistem pendidikan untuk memahami bahwa Pustakawan modern adalah arsitek informasi dan pendidik literasi, bukan sekadar penjaga gudang buku yang tidak memerlukan keahlian spesifik.

Kekurangan kompetensi LIS (Library and Information Science) pada Pustakawan ‘tambal sulam’ ini menghasilkan konsekuensi yang fatal dan terukur. Secara teknis, koleksi perpustakaan cenderung menjadi statis dan tidak relevan. Staf non-ahli tidak memiliki pelatihan yang memadai untuk melakukan analisis kebutuhan pengguna secara sistematis. Mereka gagal menguasai metode teknis seperti pengatalogan (menggunakan klasifikasi DDC) dan pengolahan bahan pustaka sesuai standar baku. Akibatnya, penemuan informasi menjadi sulit bagi siswa. Perpustakaan mungkin menyimpan buku yang relevan, tetapi tidak ada yang tahu cara menemukannya di rak. Pemilihan koleksi pun seringkali dilakukan berdasarkan best seller atau selera pribadi, alih-alih berdasarkan pemetaan kurikulum, kebutuhan proyek ilmiah siswa, atau analisis data statistik peminjaman.

Selain masalah teknis, krisis ini memiliki dimensi legal dan filosofis. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 25 Tahun 2008 sudah secara jelas mengatur standar tenaga perpustakaan sekolah, termasuk keharusan memiliki kualifikasi pendidikan dan sertifikasi kompetensi. Begitu pula Peraturan Pemerintah dan PermenPAN-RB tentang Jabatan Fungsional Pustakawan, yang mengatur jenjang karir dan tugas pokok yang jelas di bidang kepustakawanan. Kenyataan bahwa banyak sekolah masih mengabaikan regulasi ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara kebijakan ideal dan realita di lapangan. Para pengambil kebijakan di tingkat daerah seringkali hanya mengenal guru sebagai tenaga fungsional dan Pustakawan sebagai tugas tambahan semata, sebuah anggapan keliru yang secara langsung melecehkan profesi Pustakawan.

Lebih jauh, kerugian terbesar terletak pada aspek pedagogi dan literasi digital. Di era disinformasi yang akut ini, peran Pustakawan telah bergeser dari sekadar penyedia buku menjadi pendidik yang mengajarkan metaliterasi. Pustakawan yang kompeten adalah profesional yang melatih siswa untuk memverifikasi sumber di internet, memahami bias media, dan menggunakan alat riset akademik secara etis. Mereka adalah partner guru dalam mengajarkan siswa cara membuat karya ilmiah tanpa plagiat.

Staf non-Pustakawan umumnya tidak dibekali dengan kerangka pedagogi dan alat-alat digital yang diperlukan untuk tugas ini. Akibatnya, perpustakaan gagal menyelenggarakan program literasi yang efektif, dan hanya beroperasi sebagai ruang baca pasif. Ini adalah kegagalan sekolah untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan disinformasi dan ekosistem digital, sebuah kegagalan yang jauh lebih mahal daripada biaya merekrut satu Pustakawan profesional.

Maka, ironi penugasan staf non-ahli ke jabatan Pustakawan sekolah ini harus dipandang sebagai penghinaan terhadap disiplin ilmu LIS dan, yang jauh lebih krusial, sebagai ancaman langsung terhadap kualitas intelektual generasi penerus. Ketika sekolah, sadar atau tidak, memperlakukan Pustakawan sebagai jabatan ‘buangan’, mereka secara efektif memotong akses siswa terhadap keterampilan informasi paling penting di abad ke-21. Mengapa kita begitu peduli dengan kualifikasi guru matematika, tetapi menganggap remeh kualifikasi seseorang yang bertanggung jawab mengelola seluruh sumber daya pengetahuan di sekolah? Pustakawan adalah seorang ahli, dan keahliannya tidak bisa digantikan hanya dengan kemauan baik seorang guru yang sedang kelebihan waktu luang.

Untuk menyembuhkan “jantung sekolah” yang sedang sakit ini, diperlukan intervensi kebijakan yang tegas dan komprehensif. Dinas Pendidikan harus segera mengakhiri praktik tambal sulam dan mewajibkan standar kompetensi minimum yang ketat untuk setiap pengelola perpustakaan sekolah, selaras dengan Permendiknas dan PermenPAN-RB yang ada. Solusinya dapat berupa rekrutmen lulusan LIS bersertifikasi, atau jika keterbatasan SDM LIS di daerah benar-benar menjadi masalah investasi masif pada program sertifikasi dan pelatihan Pustakawan yang harus diikuti oleh staf yang ditunjuk.

Sudah saatnya kita berhenti memandang perpustakaan sebagai gudang buku yang perlu dijaga dan mulai melihatnya sebagai pusat layanan strategis. Hanya dengan menempatkan arsitek informasi yang kompeten, perpustakaan dapat kembali memompa literasi yang kuat dan menghasilkan generasi yang cakap dalam mengelola lautan informasi digital. Masa depan literasi bangsa terlalu penting untuk diserahkan kepada mereka yang tidak memiliki keahlian di bidang tersebut.