Perpustakaan di Era Digital: Bertahan atau Bertransformasi?

Eka Yusnita (230503064) (Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN AR-RANIRY Email: 230503064@student.ar-raniry.ac.id)

Eka Yusnita (230503064)

Kabarnanggroe.com, Di tengah derasnya arus informasi di dunia maya, keberadaan perpustakaan kembali menjadi bahan perbincangan. Banyak pelajar dan generasi muda saat ini lebih memilih mencari informasi lewat gawai, media sosial, atau mesin pencari seperti Google daripada mengunjungi perpustakaan. Perubahan kebiasaan ini memunculkan pertanyaan penting: masihkah perpustakaan relevan di era digital yang serba cepat dan serba instan?

Sesungguhnya, perpustakaan bukan sekadar tempat penyimpanan buku. Ia adalah pusat literasi, ruang belajar bersama, dan sumber informasi yang terverifikasi. Di tengah banjirnya berita hoaks, perpustakaan seharusnya menjadi benteng pengetahuan yang membantu masyarakat membedakan fakta dari kabar palsu.

Namun realitasnya, sebagian orang masih memandang perpustakaan sebagai ruang sepi, kuno, dan kurang menarik bagi anak muda. Padahal, cara belajar dan memperoleh informasi telah berubah drastis. Internet menawarkan akses jutaan informasi hanya dalam hitungan detik. Platform seperti YouTube, TikTok, dan media sosial lainnya menjadi sumber pengetahuan baru yang lebih visual, praktis, dan mudah dicerna. Generasi digital menyukai konten yang singkat, menarik, dan cepat diakses dan di sisi inilah perpustakaan menghadapi tantangan besar.

Karena itu, perpustakaan tidak boleh terpaku pada konsep lama. Perubahan dan inovasi menjadi kunci agar perpustakaan tidak ditinggalkan. Transformasi koleksi ke bentuk digital, penyediaan e-book, katalog daring, layanan konsultasi online, hingga ruang baca digital merupakan langkah nyata yang kini mulai diterapkan.

Beberapa perpustakaan kampus sudah menyediakan akses jurnal elektronik dan aplikasi perpustakaan digital. Perpustakaan daerah pun mulai aktif mengadakan pelatihan literasi digital dan teknologi informasi untuk masyarakat. Ini menunjukkan bahwa perpustakaan bisa maju seiring zaman, selama mendapat dukungan kebijakan dan sumber daya yang memadai.

Tidak hanya sistemnya, peran pustakawan juga ikut berubah. Di era digital, pustakawan bukan sekadar penjaga rak buku. Mereka berperan sebagai navigator informasi pemandu yang membantu masyarakat menemukan, menilai, dan menggunakan informasi secara bijak. Pustakawan modern harus memiliki kemampuan literasi digital agar mampu menjadi pendamping belajar, sekaligus garda terdepan dalam memerangi hoaks dan informasi sesat.

Lebih dari itu, perpustakaan juga harus memperkuat fungsi sosial. Banyak perpustakaan modern di berbagai negara telah berkembang menjadi *creative hub*, tempat berkumpulnya masyarakat untuk berdiskusi, berkarya, mengikuti kelas menulis, pameran lokal, hingga pelatihan teknologi. Jika konsep seperti ini diterapkan lebih luas di Indonesia, perpustakaan tidak lagi dipandang sebagai ruang sunyi, tetapi sebagai pusat aktivitas, kreativitas, dan kolaborasi.

Dengan semua potensi tersebut, perpustakaan tidak akan hilang oleh perkembangan teknologi. Justru teknologi membuka peluang baru untuk memperluas layanan literasi. Selama perpustakaan terus beradaptasi, memperbarui sistem, dan menjaga hubungan dengan masyarakat digital, kehadirannya akan tetap kuat bahkan semakin penting.