Kabarnanggroe.com, Jakarta — Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Administrasi Jakarta Timur menyelenggarakan Muzakarah dan Pengajian Bulanan dengan tema Fatwa Ulama dalam Menjawab Dinamika Keuangan Digital Modern, di Kantor MUI Jakarta Timur pada Sabtu (4/10/2025).
Kegiatan ini menjadi wadah penting bagi para ulama, akademisi, dan praktisi keuangan syariah untuk membahas tantangan serta peluang perkembangan financial technology (fintech) dalam perspektif hukum Islam.
Acara dihadiri oleh jajaran pengurus MUI Kota Jakarta Timur, para ketua dan perwakilan MUI Kecamatan se-Jakarta Timur, serta sejumlah tokoh ormas Islam, akademisi, dan mahasiswa.
Kehadiran para pimpinan MUI Kecamatan menunjukkan kekompakan dan keseriusan jajaran MUI Jakarta Timur dalam merespons isu-isu aktual umat, khususnya di bidang ekonomi dan keuangan digital yang terus berkembang.
Sebagai keynote speaker, KH. Didi Supandi, Lc, M.A, Ketua MUI Kota Jakarta Timur, membuka diskusi dengan pemaparan mendalam mengenai sejarah perkembangan teknologi digital, mulai dari era Web 1.0, Web 2.0 hingga Web 3.0.
Ia menjelaskan setiap fase perubahan internet membawa pengaruh besar terhadap pola komunikasi, ekonomi, dan perilaku sosial masyarakat modern.
Jika pada era Web 1.0 masyarakat hanya menjadi pengguna pasif, dan di Web 2.0 mulai aktif berinteraksi melalui media sosial, maka di era Web 3.0 manusia kini hidup dalam ekosistem digital yang terdesentralisasi, di mana data, identitas, dan transaksi mulai dikelola secara mandiri melalui teknologi blockchain.
KH. Didi juga menyoroti fenomena media sosial TikTok yang kini menjadi platform nomor satu di dunia, sebagai cerminan perubahan budaya komunikasi global.
Menurutnya, keberadaan media sosial harus dimaknai bukan sekadar hiburan, tetapi juga sebagai ruang dakwah, edukasi, dan pembinaan moral generasi muda. Ia mengingatkan bahwa para ulama dan dai perlu memahami dinamika ruang digital agar pesan dakwah tetap relevan dan mampu menjangkau masyarakat secara luas.
“Kita harus hadir di ruang digital, bukan hanya untuk menegur tetapi juga untuk membimbing. Dunia maya kini menjadi bagian dari dunia nyata umat,” ujar KH. Didi Supandi.
Setelah sesi pembukaan tersebut, acara dilanjutkan dengan pemaparan dua narasumber utama, yaitu KH. Izzuddin Edi Siswanto, Lc, M.A, ASPM (Dewan Pengawas Syariah Dompet Dhuafa dan Pembina Kripto Syariah) dan Ustaz Devin Halim Wijaya, B.B.A, M.Sc, pakar keuangan digital dan akademisi ekonomi Islam kontemporer. Keduanya menyoroti pesatnya inovasi digital di sektor keuangan, seperti fintech, blockchain, dan aset kripto, yang kini mulai bersinggungan dengan nilai-nilai syariah.
Dalam pemaparannya, Ustaz Devin Halim Wijaya menjelaskan, financial technology kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Layanan seperti transfer uang instan, pembayaran digital, peer-to-peer lending, hingga investasi ritel melalui aplikasi seperti Bibit dan Ajaib telah membuka akses inklusi keuangan bagi jutaan masyarakat yang sebelumnya belum tersentuh oleh sistem perbankan konvensional.
Namun, di sisi lain, perkembangan ini juga menimbulkan sejumlah persoalan fiqih baru. Beberapa di antaranya terkait akad yang digunakan dalam pembiayaan digital, keabsahan keuntungan dan diskon pada e-wallet, serta status hukum aset kripto dan tabungan digital.
Menurutnya, berbagai fatwa Dewan Syariah Nasional MUI telah mengatur hal tersebut, mulai dari Fatwa Wakalah bi Al-Ujrah hingga Fatwa Uang Elektronik Syariah, namun pemahaman yang lebih luas di kalangan masyarakat tetap dibutuhkan agar praktiknya sesuai dengan prinsip syariah.
Sementara itu, KH. Izzuddin Edi Siswanto menyoroti topik Inovasi Aset Keuangan Digital (IAKD) dari perspektif syariah. Ia menjelaskan bahwa inovasi aset digital seperti blockchain, tokenisasi aset, dan kripto syariah memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Namun demikian, implementasinya masih menghadapi kendala, seperti ketidakpastian regulasi dan kebutuhan akan fatwa yang lebih jelas dan mengikat.
Menurut KH. Izzuddin, IAKD dapat menjadi peluang besar bagi umat Islam untuk membangun ekosistem keuangan digital yang adil dan transparan, selama prinsip syariah seperti kejelasan akad, keadilan transaksi, dan penghindaran riba tetap dijaga.
Ia juga menegaskan pentingnya kolaborasi antara ulama, regulator, dan pelaku industri agar inovasi digital tidak keluar dari koridor syariah.
Kegiatan Mudzakarah ini turut menekankan pentingnya literasi keuangan syariah digital bagi masyarakat luas. Masih banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan mendasar antara layanan keuangan konvensional dan syariah.
Karena itu, edukasi publik perlu diperkuat agar masyarakat tidak terjebak dalam praktik yang mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) maupun riba yang terselubung dalam layanan digital.
Kedua narasumber sepakat bahwa peran fatwa ulama bukan sekadar memberi label halal atau haram, melainkan juga menjadi panduan etis dalam menavigasi kemajuan teknologi yang begitu cepat.
“Kita tidak boleh anti terhadap inovasi,tetapi inovasi harus selalu berpihak pada keadilan dan kemaslahatan umat,” ujar KH. Izzuddin.
Kehadiran seluruh jajaran MUI Kecamatan dalam acara ini memperkuat semangat sinergi dan konsolidasi kelembagaan di bawah koordinasi MUI Kota Jakarta Timur.
Dengan semangat ijtihad dan kolaborasi, MUI diharapkan terus menghadirkan fatwa yang adaptif, solutif, dan kontekstual terhadap tantangan zaman, terutama dalam menghadapi era transformasi digital di sektor keuangan dan sosial kemasyarakatan.
Menutup acara, KH. Didi Supandi menyampaikan apresiasi kepada seluruh peserta dan narasumber yang telah berkontribusi dalam diskusi ilmiah tersebut.
Beliau menegaskan bahwa MUI Jakarta Timur akan terus menjadi garda terdepan dalam membimbing umat menghadapi perubahan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai syariah.
“Perubahan zaman harus kita sikapi dengan ilmu, hikmah, dan kebersamaan. Melalui forum seperti ini, kita ingin memastikan bahwa setiap inovasi teknologi tetap berlandaskan pada nilai keadilan dan kemaslahatan umat,” pungkasnya. (Sayed M. Husen/Ibnu Syafaat)