Qanun Kesenian Aceh Diperlukan untuk Perkuat Seni Budaya Daerah

Foto bersama usai pelaksanaan FGD bertajuk "Aceh Menuju Darurat Kesenian" yang digelar di Banda Aceh, Sabtu (2/8/2025). FOTO/ DOK MEDIA POS ACEH

Kabarnanggroe.com, Banda Aceh — Dewan Kesenian Aceh (DKA) Provinsi Aceh menilai perlunya keberadaan Qanun Kesenian sebagai dasar hukum yang mengatur segala bentuk kegiatan kesenian dan budaya di Aceh. Hal ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Aceh Menuju Darurat Kesenian” yang digelar di Banda Aceh, Sabtu (2/8/2025).

FGD tersebut digelar sebagai respons atas kekhawatiran terhadap makin minimnya aktivitas kesenian di tengah masyarakat Aceh, yang kini lebih sering hanya tampil dalam acara seremonial.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Almuniza Kamal, menyampaikan bahwa pemerintah menyadari adanya penurunan intensitas kegiatan seni di masyarakat. Ia mengatakan, tantangan terbesar saat ini adalah perubahan cara masyarakat dalam mengekspresikan seni.

“Pemerintah pada dasarnya akan selalu memberikan dukungan. Tentunya ada skala prioritas, tapi kami terbuka untuk berdiskusi lebih lanjut soal pengembangan kesenian di Aceh,” ujar Almuniza.

Suasana pelaksanaan FGD bertajuk “Aceh Menuju Darurat Kesenian” yang digelar di Banda Aceh, Sabtu (2/8/2025). FOTO/ DOK MEDIA POS ACEH

Ketua DKA Provinsi Aceh, Dr. Teuku Afifuddin, M.Sn, menyebut perbedaan pandangan terhadap seni di sejumlah daerah di Aceh menjadi alasan mendesak dibutuhkannya Qanun Kesenian. Menurutnya, ada wilayah yang melarang penggunaan alat musik tertentu karena alasan penafsiran syariat.

“Ada daerah yang tidak boleh menggunakan gendang, ada yang melarang alat musik tertentu. Perlu satu aturan yang menyatukan agar tidak terjadi dualisme penafsiran tentang kegiatan seni mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak,” jelas Teuku Afifuddin.

Ia menambahkan, Qanun ini akan menjadi payung hukum yang penting agar DKA bisa menjalankan fungsinya secara optimal dalam mengontrol kesenian yang sesuai dengan adat dan syariat Islam.

Dukungan terhadap keberadaan Qanun Kesenian juga disampaikan oleh anggota DPR RI asal Aceh, Dr. H. M. Nasir Djamil, M.Si, yang hadir sebagai pemantik diskusi. Ia menilai regulasi ini akan memudahkan pengelolaan seni sekaligus melindungi para pelakunya.

“Qanun ini akan memudahkan aturan main kegiatan kesenian agar tidak berbenturan dengan syariat. Juga akan membantu penganggaran kegiatan seni oleh pemerintah dan memberi perlindungan terhadap karya pelaku seni,” ujar Nasir Djamil.

Seorang seniman yang hadir, Ceh Medya Hus, mengaku kerap bingung dengan beragam perbedaan aturan seni di berbagai daerah di Aceh.

“Kami jadi bingung mana yang boleh dan tidak. Kalau ada satu aturan yang jelas, maka kami merasa lebih aman dalam berkesenian,” ungkapnya.

Senada dengan itu, Nurul, seorang pegiat tari dari kampung, menuturkan bahwa stigma negatif terhadap seni tari menyebabkan banyak sanggar yang mati suri.

“Anak-anak jadi takut ke sanggar karena menari dianggap tidak baik. Perlu aturan yang melindungi agar kita punya kekuatan melanjutkan kegiatan berkesenian,” ucapnya.

Perwakilan dari Majelis Adat Aceh (MAA), Yus Dedi, juga menggarisbawahi pentingnya menghidupkan kembali perhatian terhadap kesenian sebagaimana yang pernah dilakukan di masa Gubernur Ibrahim Hasan.

“Dulu seniman mendapat perhatian lebih dan merasa diapresiasi. Pemerintah terlihat berpihak pada bidang kesenian,” kata Yus Dedi.

Pelaku seni lain, Sarjev, turut mengkritisi prioritas dalam kegiatan kesenian. Ia berharap pemerintah lebih mengutamakan para seniman dalam setiap agenda kesenian, terutama yang berskala nasional maupun internasional.

“Kalau ada kegiatan ke luar, senimannya harus jadi prioritas, bukan tim pendamping yang justru jumlahnya kadang lebih banyak,” tegas Sarjev.

Di akhir diskusi, Ketua DKA Aceh, Dr. Teuku Afifuddin, kembali menegaskan perlunya revitalisasi kesenian Aceh sebagai bentuk pelestarian yang bukan hanya terekam dalam buku atau video, melainkan tetap hidup dalam kegiatan nyata.

“Revitalisasi seni Aceh penting agar tak sekadar dikenang lewat dokumentasi. Seni yang hidup juga bisa jadi alat promosi pariwisata dan meningkatkan ekonomi lokal,” jelasnya.

FGD tersebut turut dihadiri perwakilan dari DKA kabupaten/kota seperti Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Pidie Jaya, Bener Meriah, dan Aceh Besar. Hadir pula delegasi dari MPU, MAA, Kodam Iskandar Muda, Polda Aceh, ISBI Aceh, serta para pelaku seni lintas bidang.

Sebagai informasi lainnya, hasil FGD tersebut akan dirumuskan sebagai rencana aksi untuk pengembangan dan pelestarian seni di Aceh, serta diserahkan kepada Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, sebagai bagian dari fungsi DKA dalam memberikan rekomendasi kebijakan di bidang seni dan budaya.(Wahyu/*)