Kabarnanggroe.com — Banda Aceh — Dalam tradisi intelektual Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kepemimpinan bukanlah soal gelar atau jabatan, melainkan tentang tanggung jawab historis, moral, dan organisatoris. HMI berdiri bukan sekadar untuk mengisi ruang-ruang kosong dalam struktur kelembagaan mahasiswa, tetapi untuk menjadi pelita peradaban di tengah gelapnya krisis bangsa dan umat. Maka ketika seorang Ketua Umum Cabang tidak mampu mengartikulasikan cita-cita besar itu ke dalam kerja nyata, tentu kritik adalah bentuk cinta yang paling jujur.
Syifaul Husni, Ketua Umum HMI Cabang Banda Aceh periode berjalan, tampaknya tidak memahami esensi amanah yang sedang ia emban. Selama masa kepemimpinannya satu tahun ini yang habis pada tanggal 18 Mei kemarin, publik HMI baik dari internal komisariat hingga alumni nyaris tak melihat geliat berarti dari tingkat cabang. Tidak ada program yang progresif, tidak ada konsolidasi ideologis yang sistematis, dan tidak ada kontribusi strategis terhadap isu-isu keacehan maupun kebangsaan. Yang ada hanyalah pelan-pelan redupnya harapan terhadap kepemimpinan cabang.
Lebih ironis lagi, Syifaul Husni justru tampak lebih sering “menumpang eksistensi” di kegiatan-kegiatan yang diinisiasi oleh komisariat. Ini menunjukkan bukan hanya krisis gagasan, tapi juga krisis keberanian dalam memimpin. Seorang ketua cabang yang semestinya menjadi lokomotif gerakan, malah terlihat seperti penumpang yang tersesat di gerbong belakang. Padahal, posisi cabang adalah posisi strategis yang seharusnya memberi arah dan inspirasi bagi seluruh komisariat di bawahnya.
Kita patut bertanya: ke mana agenda-agenda besar yang pernah dijanjikan di forum Konfercab? Ke mana narasi perubahan yang digadang-gadang pada awal kepemimpinan? Ataukah semua itu hanya sebatas pidato panggung tanpa komitmen?
Jika memang tidak mampu, lebih baik mengundurkan diri. Tidak ada yang salah dalam mengakui ketidakmampuan yang salah adalah terus bertahan dalam posisi yang hanya menambah beban organisasi. Keberanian untuk mundur jauh lebih terhormat daripada terus mempertahankan jabatan demi gengsi pribadi, sambil membiarkan organisasi jalan di tempat bahkan nyaris kehilangan wibawa.
HMI Cabang Banda Aceh bukan milik satu orang. Ia adalah warisan sejarah perjuangan yang harus dijaga dengan integritas, akhlak, dan visi. Maka demi kehormatan himpunan, dan demi marwah kaderisasi yang berjenjang, sudah saatnya kita menagih pertanggungjawaban. Dan jika pertanggungjawaban itu tak kunjung datang, maka desakan untuk mundur bukan lagi sebuah seruan emosional, melainkan tuntutan moral yang tak bisa ditunda.(*)