ALSA Local Chapter USK Soroti Isu Pengungsi Rohingya dalam Seminar Nasional

*Lindungi Kemanusiaan dan Jaga Kedaulatan

Suasana pelaksanaan Seminar Nasional bertema “Dilema Perlindungan Pengungsi Rohingya di Indonesia dalam Absennya Ratifikasi Konvensi 1951”, di Ajong Mon Mata Pendopo Gubernur Aceh, Kota Banda Aceh, Selasa (23/9/2025). FOTO/ DOK MEDIA POS ACEH

Kabarnanggroe.com, Banda Aceh – Dalam upaya memperkuat kesadaran hukum dan kemanusiaan di kalangan mahasiswa, Asian Law Students’ Association (ALSA) Local Chapter Universitas Syiah Kuala (USK) menggelar Seminar Nasional bertema “Dilema Perlindungan Pengungsi Rohingya di Indonesia dalam Absennya Ratifikasi Konvensi 1951”, di Ajong Mon Mata Pendopo Gubernur Aceh, Kota Banda Aceh, Selasa (23/9/2025).

Kegiatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian Pra-Musyawarah Nasional & ALSA Leadership Training XXXII (PALT) dan menyoroti isu strategis tentang perlindungan pengungsi dalam bingkai kedaulatan negara dan nilai kemanusiaan.

Seminar menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten seperti akademisi hukum internasional Aditya Rivaldi, perwakilan UNHCR Rahmadi, Direktur Yayasan Geutanyoe Al Fadhil, serta Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh AKP Donna Briadi, S.I.K., M.H.

Dalam paparannya, Aditya Rivaldi menjelaskan, status pengungsi menurut Konvensi 1951 memiliki lima unsur penting yang harus dipenuhi.
“Seorang pengungsi adalah mereka yang berada di luar negara asalnya, memiliki ketakutan yang beralasan, dan tidak dapat atau tidak mau kembali karena ancaman penganiayaan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti prinsip dasar yang menjadi landasan perlindungan pengungsi. “Prinsip non-refoulement atau larangan pemulangan paksa, non-discrimination, dan hak untuk tidak dipidana karena masuk secara ilegal merupakan tiga pilar penting yang harus dijaga,” tuturnya.

Selain itu, Aditya juga menyinggung posisi nelayan lokal Aceh yang kerap berada dalam posisi sulit ketika berhadapan dengan realitas kemanusiaan di laut. “Mereka seperti keju yang meleleh dalam sandwich — diapit antara hukum negara dan nilai-nilai kemanusiaan yang tak bisa diabaikan,” sebutnya.

Sementara itu, Rahmadi selaku Field Associate dari UNHCR menuturkan bahwa saat ini lebih dari 100 juta orang di dunia terpaksa meninggalkan rumahnya akibat konflik dan krisis kemanusiaan.
“UNHCR yang telah berdiri selama 74 tahun dan beroperasi di 137 negara berperan dalam melindungi tiga kategori utama: pengungsi lintas negara, orang tanpa kewarganegaraan, dan pengungsi internal,” ungkapnya.

Menurutnya, meski Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951, namun pemerintah tetap menunjukkan komitmen kuat terhadap nilai-nilai kemanusiaan. “Indonesia tetap mendukung berbagai instrumen HAM internasional seperti ICCPR, ICESCR, dan CAT. Kerja sama antara UNHCR dan Indonesia telah berjalan sejak 1979,” jelas Rahmadi.

Pada kesempatan itu, Al Fadhil, Direktur Yayasan Geutanyoe, menegaskan pentingnya perspektif lokal dalam menanggapi isu pengungsi. “Pendekatan lokal menjadi kunci dalam memastikan agar solidaritas masyarakat tidak berubah menjadi ketegangan sosial. Kita harus membangun komunikasi publik yang adil dan edukatif,” katanya.

Menurutnya, isu pengungsi bukan sekadar persoalan hukum internasional, melainkan juga tantangan moral dan sosial yang memerlukan sinergi lintas sektor.

Sementara dari sisi penegakan hukum, AKP Donna Briadi, S.I.K., M.H., selaku Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, memaparkan penanganan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan people smuggling yang melibatkan pengungsi Rohingya di wilayah Aceh.

“Beberapa tersangka telah kami amankan. Proses hukum berjalan sesuai ketentuan pidana nasional dengan dukungan barang bukti yang kuat. Kami berkomitmen penuh memberantas jaringan penyelundupan manusia,” tegasnya.

Donna juga menekankan pentingnya kerja sama lintas lembaga, baik dengan Imigrasi, pemerintah daerah, maupun lembaga internasional, agar penanganan pengungsi tetap berlandaskan keamanan dan kemanusiaan.

Melalui seminar nasional tersebut, ALSA LC USK menegaskan peran strategisnya sebagai wadah pengembangan intelektual dan kepedulian sosial bagi mahasiswa hukum. ALSA berkomitmen menjadi ruang belajar dan berbagi yang progresif untuk melahirkan generasi muda hukum yang bukan hanya paham teori, tetapi juga memiliki kepekaan terhadap isu kemanusiaan.(Wahyu/*)