Kabarnanggroe.com, Yogyakarta – Masyarakat dan mahasiswa Aceh di Yogyakarta, menyampaikan kekecewaan dan rasa terluka atas pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menyebut bahwa banjir bandang di Aceh “hanya mencekam di media sosial.” Pernyataan tersebut Kepala BNPB bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga menunjukkan lemahnya empati dan ketidakpahaman terhadap realitas kemanusiaan yang sedang berlangsung di Aceh.
Ketua Umum Taman Pelajar Aceh Yogyakarta, Muhammad Mufariq Muchlis, melalui siaran pers yang diterima Kabarnanggroe.com Senin (01/12/2025), menilai penggunaan kata “hanya” dalam konteks tragedi ini tidak layak, baik secara moral maupun etika jabatan publik.

“Di tengah situasi di mana ribuan warga sedang berjuang bertahan hidup, pernyataan demikian bukan sekadar keliru tetapi melukai perasaan masyarakat Aceh yang sedang berada dalam situasi darurat,” katanya.
Menurut Ketua Umum Taman Pelajar Aceh Yogyakarta itu, data sementara yang tercatat menunjukkan fakta yang tidak terbantahkan: 80 orang dinyatakan meninggal dunia, 71 jiwa masih hilang, 330 warga mengalami luka berat, 1.284 warga mengalami luka ringan, 441.842 penduduk terdampak banjir, 207.017 orang harus mengungsi, 16 kabupaten/kota berada dalam status terdampak berat.

“Di banyak wilayah, akses logistik masih terputus. Bantuan makanan, obat-obatan, dan penanganan darurat belum berjalan optimal. Banyak masyarakat berada dalam kondisi trauma, tanpa pasokan air bersih, komunikasi, maupun akses kesehatan memadai. Maka sangat tidak tepat apabila tragedi seluas ini direduksi sebagai fenomena yang ‘mencekam di media sosial,’” ujar Muhammad Mufariq Muchlis.
Pernyataan publik seorang pejabat negara, lanjut Mufariq, seharusnya mencerminkan empati, akurasi, dan kehadiran negara bukan sebaliknya. Kami mengingatkan bahwa jabatan publik bukan sekadar posisi administratif, melainkan mandat tanggung jawab moral dan kemanusiaan.

Lebih jauh, sebut Mufariq dalam siaran pers tersebut, mahasiswa Aceh di Yogyakarta hingga hari ini masih menunggu kabar keluarga yang terputus komunikasi selama hampir satu minggu.
“Rasa cemas, takut, dan ketidakpastian tidak bisa diukur hanya melalui gambar dan unggahan media sosial. Realitasnya jauh lebih keras dari apa yang terlihat di layar,” ujarnya.

Oleh karena itu, segenap masyarakat dan mahasiswa Aceh di Yogyakarta mengajak seluruh pemangku kebijakan untuk hadir secara nyata, turun ke lokasi, menyaksikan sendiri kondisi di lapangan, dan memberikan respons cepat, terukur, dan berkeadilan.
“Rakyat Aceh tidak membutuhkan pernyataan yang meremehkan penderitaan mereka yang dibutuhkan adalah tindakan, kehadiran negara, serta empati,” tutup Muhammad Mufariq Muchlis. (Ask/*)






