Kabarnanggroe.com, Banda Aceh – Ibu Kota Provinsi Aceh, Banda Aceh yang sudah ditabalkan sebagai pusat pariwisata Islami Nusantara terus berbenah dalam berbagai hal. Apalagi, usia kota ini sudah tidak muda lagi, lahir pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205 oleh Sultan Johan Syah.
Jika ditilik, maka kota ini sudah berusia 820 tahun yang awalnya bernama Bandar Aceh Darussalam. Setiap hari kelahiran kota ini, terus dirayakan secara sederhana, bagian dari penerapan syariat Islam, tidak bermegah-megahan.
Pemko Banda Aceh bersama pengawas pemerintahan, DPRK Kota menggelar perayaan dengan hanya menampilkan sederetan budaya yang masih berbalut Islami di Gedung DPRK Kota Banda Aceh pada Selasa (22/4/2025).

Bandar Aceh Darussalam ini yang lahir berdasarkan syariat Islam terus berkembang menjadi sebuah kota yang menarik untuk dikunjungi dan ditempati. Sebagai salah satu kota tertua di Asia Tenggara, Bandar Aceh Darussalam ini telah memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam ke seluruh nusantara.
Awalnya, kota ini tempat lahirnya sejumlah ulama besar yang dikenal sampai saat ini telah menjadi pusat pendidikan Islam para pelajar dari Timur Tengah dan sejumlah negara lainnya. Kemudian, berkembang, menjadi pusat perdagangan dengan datangnya pedagang dari sejumlah negara di Eropa, Timur Tengah, Turki, China, India dan sejumlah negara di berbagai belahan dunia lainnya.
Di masa jayanya, Bandar Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), tokoh utama dalam sejarah Aceh yang menerapkan syariat Islam secara ketat. Bahkan, menjadikan ulama sebagai penasihat utama dalam menjalankan roda kerajaan, sehingga kemajuan terus dicapai dalam dunia pendidikan dan kehidupan masyarakat.
Sehingga, banyak pelajar dan pedagang pendatang ini memilih menetap di Aceh dan menikah dengan wanita lokal. Hal ini menyebabkan terjadinya pembauran budaya dengan aneka budaya masih menyisakan pemandangan di sudut-sudut kota Banda Aceh. Seperti Kota Pecinan di Gampong Peunayong dan peninggalan pemakaman warga Turki di Gampong Bitai.
Sebagai pusat pendidikan Islam, Bandar Aceh Darussalam terus berkembang di bawah bendera Kota Banda Aceh yang telah dihuni berbagai etnis dari seluruh Indonesia dan juga dunia. Syariat Islam yang disandarkan saat berdirinya kota ini, terus mengalami transformasi, mengikuti zaman yang terus berkembang tanpa terbendung.

Dunia memang sudah berubah, dari era tradisional ke zaman serba teknologi, tetapi syariat Islam yang menjadi pandangan hidup masyarakat Banda Aceh dan kota lainnya di Aceh tetap dipegang teguh tanpa kecuali. Gema suara adzan lima kali sehari saling bersahut-sahutan memanggil umat Muslim untuk shalat berjamaah di masjid sebagai pertanda masih kentalnya pelaksanaan syariat Islam di bumi Serambi Mekkah ini.
Bagi wisatawan asing yang mendengar suara adzan setiap hari saat berada di Kota Banda Aceh, sebagian besar sebelum menuju kota wisata Sabang menjadi keindahan tersendiri yang tidak didapat di negeri asalnya. Kebersamaan warga yang tetap menyambut wisatawan lokal, nusantara dan asing dengan baik telah menjadi bagian dari slogan Banda Aceh sebagai ‘Kota Kolaborasi’ yang terus didengungkan oleh Wali Kota Illiza Sa’aduddin Djamal.
Illiza Sa’aduddin Djamal kembali melontarkan Banda Aceh sebagai Kota Kolaborasi saat memperingati HUT ke-820 Kota Banda Aceh di Gedung DPRK Banda Aceh, Selasa (24/4/2025) pagi. Dia menegaskan momen ini menjadi ruang refleksi atas sejarah, jati diri, dan arah perjuangan Banda Aceh sebagai Kota Kolaborasi di masa depan.
Dengan mengusung tema “Banda Aceh Kota Kolaborasi”, peringatan tahun ini menjadi ajang refleksi atas sejarah panjang dan arah pembangunan kota. Dalam sambutannya, Wali Kota Illiza tampil anggun dengan busana adat Aceh, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat kerja kolaboratif demi kemajuan kota.
“Kini, sudah menjadi tugas kita bersama dalam menjaga dan merawat serta mengembangkan warisan tersebut melalui kerja nyata dan kolaboratif demi mewujudkan Banda Aceh yang aman, nyaman, dan inklusif untuk semua,” jelasnya. Illiza menyatakan visi pemerintahannya bersama Wakil Wali Kota Afdhal Khalilullah akan menjadikan Banda Aceh sebagai kota kolaboratif yang inklusif, partisipatif dan harmonis.
Visi tersebut diwujudkan melalui sejumlah misi strategis dalam RPJM, khususnya meningkatkan kualitas pelayanan dasar, meningkatkan tata kelola pemerintahan yang adaptif, inovatif, dan responsif, memperkuat kemitraan pembangunan untuk meningkatkan daya saing daerah dan memanfaatkan potensi sumber daya untuk kesejahteraan masyarakat.
Kemudian, meningkatkan nilai-nilai agama dan budaya, memberdayakan generasi muda dan memajukan olahraga serta menjaga kelestarian lingkungan hidup. Hal itu disampaikannya pada Sidang Paripurna Istimewa DPRK Banda Aceh, tentang HUT Kota Banda Aceh ke-820, Selasa (22/4/2025). Sebelumnya, rombongan bergerak dari Balai Kota menuju Gedung DPRK Banda Aceh dengan berjalan kaki sambil diiringi alunan merdu Serunee Kale, alat musik tradisional Aceh.
Langkah kaki para pimpinan daerah ini semakin istimewa dengan balutan busana adat Aceh. Wali Kota, Wakil Wali Kota, Forkopimda, hingga seluruh Kepala OPD tampil gagah dan anggun mengenakan baju adat linto baro dan dara baro. Tradisi mengenakan pakaian kebesaran Aceh ini memang selalu menjadi bagian tak terpisahkan dalam peringatan HUT Kota Banda Aceh setiap tahun.
Banda Aceh diharapkan akan terus menjadi kota yang tidak hanya kaya akan sejarah dan budaya, tetapi juga mampu menjadi pusat kolaborasi dan inovasi demi masa depan warga kota lebih baik lagi. Banda Aceh yang telah ditabalkan sebagai kota dagang dan jasa juga terus berusaha menjadikan kota ini sebagai pusat pariwisata Islami Nusantara, bahkan dunia, melanjutkan tradisi pendirian kota ini berdasarkan syariat Islam.
Seperti yang sempat dilontarkan oleh Kepala Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh, Said Fauzan yang menyatakan kota ini yang telah menjadi pusat pariwisata Islami ini akan terus berbenah diri dalam menyambut para wisatawan lokal, nasional dan juga mancanegara. “Peran serta para pemuda dalam mempromosikan objek-objek wisata daerah ini sangat dibutuhkan,” katanya seraya menambahkan kebersihan di setiap objek wisata harus ikut dijaga.
Dikatakan, kaum milineal dan Gen-Z dapat ikut serta dalam memajukan sektor pariwisata Banda Aceh dengan terlibat langsung sebagai pemandu wisata atau juga pedagang makanan, souvenir dan lainnya. “Kolaborasi semua pihak dalam memajukan pariwisata kota ini memegang peran penting dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat,” jelasnya.
Banda Aceh yang telah menjadi tujuan para wisatawan lokal, nusantara dan mancanegara terus berusaha mentasbihkan diri sebagai ‘Pusat Pariwisata Islami Nusantara’. Tidak bisa dipungkiri, hanya Aceh, satu-satunya daerah Indonesia yang menerapkan syariat Islam, sehingga sudah tepat menjadi pusat pariwisata Islami nusantara dan juga dunia.(Muh)