Mustahil Muhammadiyah Izinkan Warga dan Mahasiswa Geruduk Pengungsi Rohingya

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh (Koordinator bidang MDMC, LAZISMU dan LPPK) M. Yamin, SE, M. Si

Kabarnanggroe.com, Banda Aceh — Mustahil Pimpinan Muhammadiyah memberikan peluang kepada warga Muhammadiyah dan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha) melakukan demonstrasi dan menggeruduk pengungsi Rohingnya yang berstatus korban konflik dan refugee di Banda Aceh.

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh (Koordinator bidang MDMC, LAZISMU dan LPPK) M. Yamin, SE, M. Si menyampaikan hal tersebut terkait simpang siur demonstrasi mahasiswa yang menggeruduk pengungungsi Rohingya di Banda Aceh, Rabu lalu.

Menurut Yamin, yang juga Dosen Fakultas Ekonomi Unmuha, mahasiswa Unmuha memang mendapat undangan dari kelompok mahasiswa yang mengatasnamakan BEM Nusantara dan itu bukan inisiatif sendiri. “Mahasiswa Unmuha juga sudah dipanggil oleh pihak rektorat untuk melakukan klarifikasi, bahwa ini tidak ada kaitannya dengan Unmuha secara kelembagaan. Mereka tidak berkoordinasi sama sekali,” ujarnya.

Demikian juga, kata Yamin, Rektor Unmuha Dr Aslam Nur menyampaikan, bahwa Unmuha tidak memberikan izin atau rekomendasi untuk demonstrasi tersebut.

Yamin menjelaskan, sejak pendaratan pertama pengungsi Rohingya di Aceh tahun 2015, telah melakukan banyak kegiatan di kamp pengungsian, diantaranya kegiatan psikososial dan pembinaan keagamaan dengan mendirikan balai pengajian dan tempat shalat, yang diberi nama Balai Ahmad Dahlan.

Program ini sudah dikerjakan oleh Muhammadiyah, sebab ormas Islam ini memiliki lembaga kemanusiaan yang disebut dengan Muhammad Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), yang selama ini menjadi leading sektor dalam peristiwa-peristiwa kebencanaan dan kemanusiaan. Juga ditopang oleh LAZISMU sebagai leading sektor dalam bidang fundraising.

Yamin menambahkan, Aceh pernah merasakan situasi yang hampirsama dengan pengungsi ketika konflik melanda Aceh bertahun-tahun. Konflik ini menyisakan banyak trauma, baik orang tua maupun anak-anak. “Setelah konflik pun, kita masih dihadapkan dengan bencana yang cukup dahsyat berupa gempa dan gelombang tsunami tahun 2004,” ungkapnya.

Dalam hal ini, kata Yamin, rakyat Aceh dan warga Muhammadiyah menyaksikan seluruh dunia berempati kepada Aceh, berbondong-bondong mereka datang ke Aceh untuk memberikan semangat dan bantuan agar bangkit kembali. Sekarang ketika orang Aceh terlihat gagah perkasa, mestinya tidak lupa dengan keadaan itu.

“Saya rasa mahasiswa yang demontrasi itu tidak pernah tahu bagaimana buruknya situasi psikologi masyarakat kita sejak konflik hingga tsunami, sehingga mereka tidak memiliki empati dan literasi yang memadai tentang kemanusiaan,” ujarnya.

Untuk itu, kata Yamin, dosen-dosen di kampus perlu memberikan edukasi yang baik kepada mahasiswa diantaranya menyajikan informasi di kelas di sela-sela kuliah, terkait dengan situasi Aceh saat konflik dan tsunami.

“Bahkan, jika perlu mengundang beberapa orang kunci yang benar-benar merasakan dahsyatnya tsunami, kemudian dibawa ke kelas biar dia bercerita. Karena, bisa jadi mahasiswa-mahasiswa saat ini adalah anak-anak yang orang tuanya dulu juga korban konflik dan tsunami,” ujarnya.

Yamin menegaskan, di Muhammadiyah tidak ada prokontra terhadap berbagai peristiwa kemanusiaan. Sikap Muhammadiyah terhadap bencana dan peristiwa kemanusiaan cukup jelas.
Itu pula sebabnya Muhammadiyah memiliki majelis khusus yang menangani masalah-masalah kemanusiaan dan kebencanaan yaitu LRB/ MDMC. (Herman/Sayed M. Husen)

Exit mobile version