Kabarnanggroe.com, Banda Aceh sedang bergerak menuju babak baru dalam sejarah perkotaan dan pemerintahannya. Sejak dilantiknya Illiza Sa’aduddin Djamal bersama Afdhal sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota pada Februari 2025, jargon “Kota Kolaborasi” digaungkan dengan penuh keyakinan. Namun, jargon ini bukan sekadar retorika. Ia adalah visi, arah, sekaligus strategi yang jika dijalankan dengan konsisten, akan membawa Banda Aceh keluar dari jebakan stagnasi menuju kemajuan yang berwibawa.
Di bawah kepemimpinan Illiza–Afdhal, Banda Aceh diharapkan menjadi kota yang tidak hanya religius dan berkarakter Islami, tetapi juga adaptif, kreatif, dan modern. Konsep kolaborasi ini menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak: pemerintah, masyarakat sipil, ulama, tokoh adat, pelaku UMKM, seniman, akademisi, hingga influencer muda. Semua harus menjadi bagian dari mesin pembangunan yang bergerak serentak.
Sinergi Generasi dan Potensi Kota
Banda Aceh adalah kota dengan memori panjang. Dari masa kerajaan Islam, kolonialisme, hingga tragedi tsunami, kota ini memikul beban sejarah sekaligus peluang besar untuk bangkit. Banda Aceh bukan sekadar ibukota provinsi, tetapi juga etalase Aceh di hadapan dunia. Di sinilah wajah Aceh dilihat, di sinilah identitas Aceh dipertaruhkan.
Potensi Banda Aceh sangat besar. Dari sisi sosial budaya, masyarakatnya kaya tradisi sekaligus religius. Dari sisi ekonomi, geliat UMKM dan industri kreatif tumbuh subur. Dari sisi pariwisata, Banda Aceh memiliki daya tarik unik berupa wisata religi berbasis syariat, dipadukan dengan wisata sejarah dan alam. Semua potensi ini, bila dikemas secara kolaboratif, akan menghadirkan keunggulan kompetitif yang sulit ditandingi kota lain di Sumatera.
Namun, modal ini tidak akan pernah cukup jika dikelola secara sektoral dan parsial. Banda Aceh butuh sinergi lintas elemen. Inilah yang disebut “kolaborasi”: ketika setiap pihak merasa menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton pembangunan.
Tantangan Nyata yang Tak Bisa Diabaikan
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa Banda Aceh menghadapi tantangan serius. Masalah kemiskinan masih nyata, keterbatasan lapangan kerja membayangi, penyalahgunaan narkoba semakin mengkhawatirkan, dan pelanggaran syariat kerap terjadi. Semua problem ini menggerus citra Banda Aceh sebagai Serambi Mekkah, sekaligus mengancam masa depan generasi muda.
Jika dibiarkan, tantangan ini bisa menimbulkan paradoks: kota yang mengaku Islami tetapi penuh penyimpangan, kota yang bersejarah tetapi tak berdaya menghadapi masa depan. Karena itu, dibutuhkan langkah besar, kebijakan berani, dan kerja nyata yang tidak hanya dilakukan pemerintah, tetapi juga didukung penuh masyarakat.
Pelantikan Sekda: Energi Baru Percepatan Pembangunan
Momentum penting hadir pada 19 Agustus 2025, ketika Wali Kota Illiza melantik Jalaluddin, ST MT sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Banda Aceh definitif. Jalaluddin sebelumnya telah menjalankan tugas sebagai Plt dan Penjabat Sekda sejak April, namun pelantikan ini menandai kepastian dan stabilitas birokrasi di jajaran pemerintahan kota.
Pelantikan Sekda bukanlah agenda seremonial belaka. Ia adalah peristiwa strategis, sebab Sekda adalah motor penggerak birokrasi. Dari Sekda lahir ritme kerja seluruh perangkat daerah. Dari Sekda lahir kebijakan teknis yang menentukan apakah sebuah visi politik bisa benar-benar dieksekusi di lapangan.
Dalam amanatnya, Wali Kota Illiza menegaskan bahwa Sekda harus menjaga netralitas ASN dan meningkatkan profesionalisme aparatur. Netralitas birokrasi adalah syarat mutlak untuk memastikan pelayanan publik berjalan adil, tidak terseret kepentingan politik, dan fokus pada pembangunan. Pesan ini penting, karena birokrasi yang netral dan bersih akan menjadi penopang bagi keberhasilan visi Kota Kolaborasi.
Pelantikan ini sekaligus memberi sinyal bahwa mesin birokrasi Banda Aceh kini siap dipacu lebih cepat. Dengan Sekda definitif, etos kerja pemerintahan bisa diarahkan lebih disiplin, lebih tepat waktu, lebih beretika, dan tentu lebih berorientasi hasil. Bagi masyarakat Banda Aceh, ini adalah kabar baik, karena berarti pembangunan akan berjalan dengan daya pacu baru.
Kolaborasi antara Pemerintah dan Masyarakat
Visi kolaborasi tidak akan berarti tanpa dukungan masyarakat. Pemerintah butuh keterlibatan aktif dari ulama dalam pembinaan umat, akademisi dalam riset kebijakan, pelaku usaha dalam mendorong ekonomi, dan pemuda dalam inovasi. Dengan pelantikan Sekda, pemerintah kota kini memiliki posisi strategis untuk mengorkestrasi seluruh kekuatan ini.
Sekda dapat memainkan peran sebagai jembatan antara eksekutif dan legislatif, sebagai penggerak koordinasi lintas dinas, dan sebagai pengawal moral bagi ASN. Jika semua perangkat ini bergerak serempak, maka Banda Aceh akan lebih siap menghadapi kompleksitas zaman.
Harapan untuk Banda Aceh
Kini, Banda Aceh memiliki dua energi besar yang saling melengkapi: visi kolaborasi yang membuka ruang partisipasi luas, dan birokrasi profesional yang memastikan arah pembangunan tetap lurus dan disiplin. Kombinasi keduanya adalah modal berharga untuk menjadikan Banda Aceh sebagai kota yang tidak hanya Islami, tetapi juga maju, modern, dan berdaya saing.
Harapan kita, Banda Aceh akan tampil sebagai kota yang benar-benar mampu menjawab tantangan zaman, tanpa kehilangan identitasnya. Kota yang religius tetapi tetap kreatif. Kota yang modern tetapi tetap berakar pada nilai-nilai Islam. Kota yang inklusif tetapi tetap menjaga marwah syariat.
Pelantikan Sekda Jalaluddin menjadi tanda bahwa pemerintahan Illiza–Afdhal serius menata birokrasi. Kini, tinggal bagaimana masyarakat ikut bergerak, ikut berkolaborasi, ikut memberi kontribusi. Sebab, Banda Aceh tidak mungkin maju hanya dengan kerja pemerintah. Banda Aceh hanya akan maju jika seluruh rakyatnya merasa memiliki dan siap terlibat dalam setiap langkah pembangunan.
Dengan semangat kolaborasi dan birokrasi yang lebih solid, mari kita jadikan Banda Aceh sebagai kota yang benar-benar layak menyandang predikat “Kota Kolaborasi”: kota yang religius, maju, inklusif, dan menjadi inspirasi bagi Indonesia.