Opini  

Etika, Anak Sekolah, dan Budaya Lokal Aceh: Refleksi Menuju Masa Depan Berkarakter

Nur, S.I.Kom., M.I.Kom Dosen Komunikasi Universitas Iskandar Muda

Kabarnanggroe.com, Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, sebuah julukan yang mencerminkan kekhasan daerah ini dalam menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial, budaya, dan pemerintahan. Syariat Islam menjadi pijakan dalam mengatur tatanan masyarakat, mulai dari cara berpakaian, interaksi sosial, hingga bentuk-bentuk penyelesaian konflik. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tampak terjadi pergeseran nilai yang cukup mengkhawatirkan, khususnya dalam perilaku generasi muda di sekolah. Di balik kemegahan label “Serambi Mekkah”, ada pertanyaan mendalam: ke manakah arah etika generasi penerus Aceh saat ini?

Etika yang Terabaikan di Lingkungan Sekolah

Etika bukan hanya soal sopan santun di permukaan, melainkan fondasi utama dalam membentuk karakter seseorang. Dalam tradisi Aceh, etika sangat dijunjung tinggi, seiring dengan nilai-nilai Islam yang menjadi akar budaya. Akan tetapi, kenyataan hari ini menunjukkan adanya gejala menurunnya kesadaran etika pada sebagian siswa di lingkungan sekolah, bahkan sejak usia dini di tingkat sekolah dasar.

Fenomena siswa yang menunjukkan sikap tidak sopan kepada guru, meremehkan nasihat orang tua, serta mengabaikan aturan sekolah bukan lagi hal langka. Di media sosial, seringkali muncul video siswa yang membuat konten merendahkan guru, membantah dengan keras, atau bahkan menjadikan lingkungan sekolah sebagai ajang pamer kebebasan berekspresi tanpa batas. Semangat ekspresi yang semestinya diarahkan kepada karya, justru tergelincir menjadi tontonan yang mempermalukan nilai adab.

Di Mana Letak Kesalahan?

Pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama adalah: apakah yang salah dengan sistem pendidikan kita? Apakah guru telah kehilangan wibawa? Apakah orang tua sudah kehilangan pengaruh? Ataukah ini adalah dampak dari budaya digital yang tidak terkontrol?

Salah satu penyebab utama adalah terpinggirkannya pendidikan etika dari prioritas utama pembelajaran. Fokus pendidikan dewasa ini terlalu berorientasi pada aspek kognitif semata mengejar nilai, mengejar akreditasi, mengejar ranking tanpa menanamkan karakter sebagai fondasi awal. Di bangku kuliah pun, pembelajaran lebih menekankan pada analisis dan teori, dengan sedikit ruang untuk pembentukan etika dasar mahasiswa.

Padahal, sebagaimana pepatah Arab menegaskan: “Al-adabu fauqal ‘ilmi” adab lebih tinggi daripada ilmu. Tanpa adab, ilmu tak memiliki makna yang mendalam. Ilmu yang tidak dibarengi dengan etika hanya akan menghasilkan kecerdasan tanpa kendali, dan pemimpin tanpa empati.

Budaya Aceh dan Nilai Syariat sebagai Kompas Etika

Aceh sesungguhnya telah memiliki modal budaya yang sangat kuat dalam membentuk generasi berkarakter. Beberapa praktik budaya dan adat seperti peusijuek (ritual tepung tawar), kenduri Maulid, dan kegiatan pengajian dayah adalah contoh konkret bagaimana masyarakat Aceh menjunjung tinggi nilai syariat dan etika sosial. Dalam tradisi tersebut, diajarkan nilai-nilai seperti menghormati orang tua, memuliakan tamu, menjaga marwah keluarga, dan saling tolong-menolong antar sesama.

Pemisahan ruang laki-laki dan perempuan dalam acara sosial, penggunaan pakaian yang sesuai syariat, hingga penegakan qanun tentang akhlak publik merupakan upaya formal dan kultural yang seharusnya menjadi bagian dari pembelajaran siswa, baik di rumah maupun di sekolah.

Sayangnya, nilai-nilai luhur ini tidak selalu berhasil ditransmisikan kepada anak-anak. Terjadi kesenjangan antara ajaran dan perilaku. Ada keindahan nilai yang diwariskan, tetapi minim internalisasi dalam proses pendidikan formal. Sekolah sering kali terbebani kurikulum yang padat, sementara orang tua sibuk dengan pekerjaan dan memberikan ruang yang luas pada gawai dan media sosial, tanpa pengawasan yang memadai.

Peran Guru dan Orang Tua sebagai Role Model Etika

Perubahan ke arah positif tidak dapat berjalan tanpa peran aktif guru dan orang tua. Guru tidak cukup hanya sebagai penyampai materi, melainkan juga sebagai teladan karakter. Sikap jujur, sabar, bijak, dan tegas yang ditunjukkan guru dalam keseharian di sekolah menjadi cermin bagi siswa.

Begitu pula dengan orang tua. Pendidikan karakter seharusnya dimulai dari rumah. Dalam budaya Aceh, orang tua dihormati bak raja, petuahnya didengarkan, dan keberadaannya dijunjung tinggi. Maka, orang tua masa kini perlu kembali mengambil peran sebagai pendidik utama dalam keluarga, bukan sekadar penyedia kebutuhan fisik anak.

Menata Masa Depan Generasi Aceh

Jika kita ingin melihat pemimpin Aceh masa depan yang beretika, kita harus mulai dari sekarang. Pendidikan etika dan karakter tidak bisa ditunda, tidak bisa dikalahkan oleh mata pelajaran lain, dan tidak bisa diserahkan semata kepada sekolah.

Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan perlu mengintegrasikan muatan lokal berbasis budaya Aceh dan nilai syariat dalam seluruh jenjang pendidikan. Guru-guru perlu diberikan pelatihan pembinaan karakter. Sekolah-sekolah perlu didukung dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menghargai perbedaan, menumbuhkan kasih sayang, serta menanamkan tanggung jawab sosial.

Kesadaran kolektif harus dibangun. Bahwa karakter lebih penting daripada sekadar kelulusan. Bahwa etika adalah dasar peradaban. Bahwa tidak ada kejayaan tanpa adab.

Refleksi ini bukan sekadar nostalgia terhadap masa lalu, tetapi panggilan untuk kembali ke akar jati diri Aceh sebagai daerah yang menjunjung tinggi Islam dan etika. Masa depan Aceh bukan hanya tentang pembangunan fisik, tetapi lebih dari itu: pembangunan manusia yang berkarakter, bermoral, dan beradab. Semoga sekolah-sekolah kita menjadi tempat tumbuhnya generasi yang tak hanya cerdas, tapi juga tahu sopan santun, berakhlak mulia, dan peduli terhadap sesama.

Exit mobile version