Kabarnanggroe.com, Pendidikan selalu menjadi pilar utama dalam membangun peradaban. Namun, di tengah derasnya arus modernisasi dan tekanan globalisasi, arah pendidikan kian bergeser: dari membentuk manusia menjadi sekadar mencetak sumber daya. Nilai akademik menjadi tolok ukur tunggal, sementara karakter dan moralitas tertinggal di belakang. Padahal, pendidikan sejati tidak berhenti pada kecakapan kognitif, tetapi harus menembus ke ranah spiritual, etis, dan sosial.
Fenomena ini bukan sekadar asumsi, melainkan fakta yang mencolok. Korupsi dilakukan oleh orang-orang bergelar. Manipulasi data oleh mereka yang paham teknologi. Kejahatan intelektual tak jarang lahir dari ruang kelas bergengsi. Dunia tak kekurangan orang pintar, tapi ia sekarat karena krisis orang baik yang cerdas. Maka, pertanyaannya bukan lagi “seberapa pintar anak-anak kita?”, tetapi “seberapa bermoral mereka saat kelak berkuasa?”
Pendidikan modern kerap terjebak dalam glorifikasi pencapaian akademik. Gelar sarjana, IPK tinggi, predikat cumlaude, dan beasiswa ke luar negeri menjadi simbol kesuksesan. Namun sayangnya, keberhasilan itu sering kali hanya bersifat kosmetik, tampak luar bagus, namun keropos di dalam.
Gagasan ini sama sekali bukan untuk meremehkan pentingnya pendidikan formal. Sebaliknya, pendidikan sejatinya merupakan sarana utama dalam membentuk manusia yang mengenal jati dirinya, memahami posisinya sebagai makhluk sosial, serta mampu berinteraksi dengan orang lain melalui etika yang santun, akhlak yang luhur, dan kecakapan sosial yang baik. Terlebih bagi seorang pendidik, baik guru maupun dosen, tugasnya tidak berhenti di ruang kelas atau perkuliahan semata.
Pendidik sejati adalah mereka yang mampu memberikan teladan dan perlindungan moral kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Tanggung jawabnya melampaui batas waktu dan tempat. Ia hadir sebagai panutan yang mampu membimbing dengan kelembutan, menegur dengan kearifan, dan membentuk karakter dengan ketulusan. Pendidikan tidak hanya terukur dari seberapa banyak ilmu yang ditransfer, tetapi juga dari seberapa dalam nilai dan teladan yang tertanam dalam diri peserta didik melalui sikap pendidiknya. Oleh karena itu, integritas moral dan kepekaan sosial menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jati diri seorang pendidik. Kita terlalu sering memuja gelar, hingga lupa bertanya: apa makna dan nilai yang menopang gelar itu? Ketika seseorang memperoleh doktor di bidang hukum, tapi mengakali hukum demi kepentingan pribadi, apakah ia benar-benar “terdidik”? Ketika seorang guru mampu menjelaskan teori moral, tetapi mempermalukan siswa di depan umum, apakah ia benar-benar “berkarakter”?
Filsuf Yunani, Socrates, pernah berkata, “Pendidikan adalah menyalakan api, bukan mengisi bejana.” Sayangnya, pendidikan kita hari ini justru terlalu sibuk menuangkan informasi ke dalam bejana siswa atau mahasiswa, tanpa sempat menyalakan api nurani mereka.
Keteladanan: Bahasa Pendidikan yang Abadi
Di sinilah posisi moral pendidik menjadi krusial. Guru dan dosen bukan hanya penyampai materi, tapi cermin hidup dari nilai-nilai yang mereka ajarkan. Islam mencontohkan melalui Rasulullah SAW, sang pendidik agung yang tidak hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga menjalani hidup sebagai teladan sempurna. Ia mengajarkan cinta, bukan sekadar hukum; memberi contoh, bukan hanya instruksi.
Ketika seorang guru datang tepat waktu, ia sedang mengajarkan tanggung jawab. Ketika dosen menyampaikan kritik dengan empati, ia sedang menanamkan kesantunan. Pendidikan karakter bukanlah mata pelajaran, melainkan praktik sehari-hari. Anak-anak meniru, bukan hanya menyimak. Maka mereka tidak hanya butuh modul pembelajaran, tapi model keteladanan.
Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai Pancasila seharusnya menjadi ruh dalam setiap kegiatan pendidikan. Sayangnya, sila-sila itu lebih sering dihafal daripada dihayati. Musyawarah tidak hidup dalam rapat. Keadilan tidak tampak dalam sistem penilaian. Ketuhanan hanya menjadi materi, bukan laku hidup. Maka tugas kita adalah membumikan Pancasila dalam tindakan konkret.
Krisis Moral di Balik Akademik
Pertanyaannya: mengapa orang pintar bisa kehilangan arah moral? Salah satu sebab utamanya adalah karena pendidikan kita lebih fokus pada hasil daripada proses. Kita mendidik agar lulus ujian, bukan agar bijak dalam kehidupan. Kita menilai dari seberapa banyak anak bisa menjawab soal, bukan seberapa mereka jujur dalam menjawabnya.
Inilah yang disebut sebagai cognitive bias in education, kecenderungan menilai kecerdasan otak di atas kecerdasan hati. Sementara kecerdasan moral justru lebih menentukan masa depan bangsa. Bangsa tidak dirusak oleh ketidaktahuan, tetapi oleh orang pintar yang menyalahgunakan ilmunya. Dalam kata lain: we are overeducated and under-moralized.
Jika sistem pendidikan tidak memberikan ruang bagi pembentukan integritas, maka kita sedang mencetak generasi yang tahu cara, tapi tidak tahu arah. Mereka mungkin tahu cara membangun gedung, tapi tidak tahu bagaimana menjaga keadilan di dalamnya.
Revolusi Hati: Kebutuhan Mendesak Pendidikan Kita, Maka solusinya bukan semata-mata revisi kurikulum, digitalisasi sekolah, perguruan tinggi, atau akreditasi internasional. Semua itu penting, tetapi bukan inti. Yang lebih mendesak adalah revolusi hati pada guru, dosen, kepala sekolah, hingga pembuat kebijakan. Pendidikan harus kembali dimaknai sebagai ibadah, bukan sekadar profesi. Mengajar bukan hanya tugas, tapi bentuk pengabdian.
Ketika seorang guru mendoakan murid-muridnya dalam sujud, maka proses belajar berubah menjadi perjumpaan spiritual. Ketika seorang dosen membimbing skripsi dengan kesabaran, bukan sekadar mengejar target kelulusan, maka ilmu menjadi berkah. Ketika guru memanusiakan siswa, maka proses belajar menghidupkan, bukan hanya mengarahkan.
Revolusi hati ini hanya mungkin terjadi bila para pendidik menyadari bahwa mereka adalah pelita zaman, bukan sekadar pemegang gaji. Bangsa ini bisa runtuh oleh pendidik yang lalai, tapi juga bisa bangkit oleh pendidik yang ikhlas. Dan setiap pendidik yang ikhlas adalah penjaga masa depan bangsa.
Pendidikan Karakter: Investasi Jangka Panjang
Banyak yang salah paham dengan pendidikan karakter. Ia dianggap tambahan, bukan utama. Dianggap beban, bukan kebutuhan. Padahal pendidikan karakter adalah esensi dari seluruh proses pendidikan. Tanpa karakter, ilmu hanyalah alat. Dan alat di tangan orang yang salah bisa menjadi senjata perusak.
Pendidikan karakter tidak bisa diukur dengan angka-angka, tapi ia bisa dirasakan dalam kepribadian siswa. Mungkin ia tidak masuk dalam rapor, tapi ia akan muncul dalam cara siswa memperlakukan sesama, menghormati orang tua, dan bertindak saat diberi amanah.
Karakter bukan diajarkan seperti rumus matematika. Ia dibentuk melalui kebiasaan, pengulangan, dan terutama keteladanan. Karakter tidak dibentuk dalam seminar, tetapi dalam keseharian. Maka keluarga, sekolah, dan masyarakat harus bersatu dalam satu tujuan: membentuk manusia, bukan sekadar tenaga kerja.
Pada akhirnya, pendidikan harus dilihat bukan sebagai alat naik kelas sosial semata, tetapi sebagai jalan perubahan sosial. Gelar bisa mengangkat seseorang ke posisi tinggi, tapi hanya karakter yang bisa membuatnya bertahan di sana dengan bermartabat. Kita tidak boleh lagi menjadikan gelar sebagai topeng, atau pendidikan sebagai pabrik status sosial.
Bangsa ini tidak butuh lebih banyak orang pintar tanpa arah. Bangsa ini butuh manusia berilmu dan bermoral, yang menjadikan pendidikan bukan hanya sebagai jalur karier, tapi sebagai jalan dakwah, jalan pengabdian, dan jalan cinta.
Mari kita mulai dari diri sendiri. Dari kelas kita. Dari lingkungan kecil tempat kita mendidik. Jadikanlah pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia. Karena di sanalah terletak masa depan bangsa yang beradab.