Ansar Salihin Guru MAN 1 Aceh Besar Baca Puisi “Arti Kemerdekaan” di Sound of Nanggroe 2 Dekade Damai Aceh “17 Puisi Merdeka”

Kabarnanggroe.com, Banda Aceh – Penyair Aceh yang juga guru MAN 1 Aceh Besar Ansar Salihin, membacakan puisinya berjudul “Arti Kemerdekaan” dalam pagelaran seni Sound of Nanggroe Vol. 9, edisi khusus dua dekade damai Aceh bertajuk “17 Puisi Merdeka”, di Taman Seni dan Budaya Aceh, Minggu, 17 Agustus 2025.

Dalam puisi yang ditulis bertepatan dengan Hari Kemerdekaan, Ansar Salihin menggugat makna kemerdekaan yang sejati. Ia mempertanyakan apakah rakyat benar-benar telah merasakan arti merdeka, atau justru masih terikat pada belenggu baru berupa ketidakadilan, ketakutan, dan kesenjangan sosial. Bait-bait seperti “Apalah artinya merdeka / Kalau yang berjuang tetap menderita / Sementara yang tersembunyi berkuasa” menggema di ruang pertunjukan dan mendapat respons penuh haru dari penonton.

Puisi “Arti Kemerdekaan” karya Ansar Salihin menghadirkan sebuah refleksi yang getir tentang makna kebebasan setelah bangsa ini terbebas dari penjajahan asing. Meski secara historis kemerdekaan telah diraih, penyair mempertanyakan apakah rakyat benar-benar merasakan arti merdeka yang sejati. Ia menyingkap ironi bahwa setelah penjajah pergi, rakyat justru merasa asing di negeri sendiri. Pertanyaan retoris tentang siapa kawan dan siapa lawan, serta bagaimana persaudaraan sering terjebak dalam kepura-puraan, menegaskan bahwa kebebasan tidak selalu menghadirkan keadilan dan rasa aman.

Dalam bait-bait berikutnya, penyair menggambarkan bahwa setiap langkah seolah dianggap salah, setiap kata seakan menjadi dosa. Situasi ini melukiskan sebuah keadaan di mana kebebasan berbicara dan bertindak seakan dirampas oleh aturan yang mengekang. Kemerdekaan yang diidam-idamkan tampak jauh, hanya menjadi angan yang tak pernah benar-benar hadir. Puncak kritiknya muncul dalam ungkapan “kalau bernafas saja dicurigai,” yang menghadirkan imaji kuat tentang ketakutan dan pengawasan berlebihan. Negeri yang seharusnya memberi rasa aman justru tampak mengerikan dan menakutkan.

Puisi ini juga mengandung sindiran tajam terhadap realitas sosial dan politik. Penyair menyoroti ketimpangan antara mereka yang berjuang dengan darah dan air mata, dengan mereka yang bersembunyi di balik bayangan sejarah tetapi kemudian justru menikmati kekuasaan. Ada sebuah ironi bahwa pengorbanan para pahlawan kerap dilupakan, sementara kekuasaan diisi oleh mereka yang tak pernah benar-benar berjuang. Gambaran “duduk di istana, menari di atas penderitaan bangsa” menjadi simbol tajam tentang penguasa yang abai terhadap rakyatnya.

Pembacaan puisi ini menjadi salah satu momen paling menyita perhatian dalam rangkaian kegiatan. Dengan suara lantang namun penuh penghayatan, Ansar menegaskan bahwa kemerdekaan tidak hanya berarti bebas dari penjajahan asing, tetapi juga kebebasan untuk hidup bermartabat, aman, dan adil. Kritik sosial yang disampaikannya melalui puisi seolah menjadi cermin bagi perjalanan bangsa Indonesia, khususnya Aceh, setelah 20 tahun perdamaian.

Koordinator kegiatan, Ramadhan Moeslem Arrasuly, dalam keterangannya menyebut bahwa kegiatan ini lahir dari semangat kolektif para seniman Aceh. “Harapannya, perdamaian Aceh benar-benar terjaga hingga akhir masa, dan kemerdekaan yang sesungguhnya harus benar-benar dirasakan serta dinikmati rakyat,” ujarnya.

Acara yang berlangsung sejak sore hingga malam hari ini menghadirkan 17 penyair dari Aceh dan berbagai daerah. Untuk sore hari Minggu (17/8), puisi akan dibacakan oleh lima orang, dimulai pukul 16.30 hingga 18.30 WIB. Di antaranya, Nikita Maria (HAKKA/SMA Methodist), Vioni (HAKKA/SMA Methodist), Ferizko Kaonedy (HAKKA/SMA Methodist), Salsabila, dan Asyifa Sahara.

Sedangkan untuk malam harinya akan diisi oleh 12 orang, dimulai pukul 20.30 WIB hingga selesai. Ke-12 orang tersebut yaitu Nafis Rakan, Nelson Sani (Papua), Abue (Teater HOME), Mustafa (Teater Reje Linge), Iwan Setiawan, Rahmad Sanjaya, Mahdalena, Wina SW1, Chairyan Ramli, Zulfadli Kawoem, Win Ansar dan Ramadhan Moeslem Arrasuly.(Herman/*)

Berikut puisi Ansar Salihin yang dibacakan dalam acara tersebut

ARTI KEMERDEKAAN

Karya Ansar Salihin

Setelah penjajah pergi
Asing di negeri sendiri
Mana teman mana lawan
Bersama dalam genggaman

Setiap langkah saja dosa
Apalagi kata-kata tak berguna
Merdeka jauh dari harapan

Di mana letak kemerdekaan
Kalau bernafas saja dicurigai
Ini negeri mengerikan

Apalah artinya merdeka
Kalau yang berjuang tetap menderita
Sementara yang tersembunyi berkuasa

Langkah kaki seakan ringan, namun jiwa masih terikat
Bayang penjajahan memang hilang, tapi bekas luka sulit dilupakan
Di tanah seharusnya jadi rumah, tapi kita pengembara
Mencari arti persaudaraan, namun terjebak dalam kepura-puraan.

Hukum dan aturan menjerat bagai rantai yang tak terlihat
Kebenaran terkadang dibungkam, seakan dosa lebih mudah ditemukan
Sementara suara rakyat kerap dianggap angin lalu
Kemerdekaan seakan bayangan di cakrawala.

Jika pandangan pun diawasi, apa lagi gerak tubuh yang terbatas
Apakah kebebasan hanya slogan di bibir, bukan napas di dada?
Ketakutan menjelma dinding yang mengurung jiwa
Negeri yang dulu diperjuangkan kini terasa asing, menakutkan, penuh tanya.

Darah dan air mata para pahlawan tak pernah dihargai sepenuhnya
Mereka yang tulus berkorban justru tersingkir dari kehormatan
Sedangkan yang bersembunyi di balik bayangan sejarah
Kini duduk di istana, menari di atas penderitaan bangsa.

Banda Aceh, 17 Agustus 2025

Exit mobile version