Kabarnanggroe.com, Banda Aceh — Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty SE Ak MPA, menggelar rapat koordinasi (rakor) terbatas atas adanya informasi terkait permasalahan pelayanan publik bagi awak kapal asal Aceh yang bekerja di kapal asing, di Kantor Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Jumat, (16/12/2022). Rakor dihadiri Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama SH, Kepala Badan Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Aceh, Drs Jaka Prasetiyono MSi dan Direktur Rumoh Transparansi, Crisna Akbar.
Direktur Rumoh Transparansi, Crisna Akbar, menyampaikan temuan mereka tentang adanya praktik perbudakan terhadap pekerja migran awak kapal asal Aceh yang bekerja pada kapal asing, baik pada awak kapal perikanan, maupun kapal niaga. Mekanisme perekrutan awak kapal ini tidak sesuai dengan aturan, mulai dari penerbitan berbagai izin untuk perusahaan perekrut, proses mengurus izin kerja, proses pembuatan kontrak kerja, sampai pengawasan ketika awak kapal berada di atas kapal asing.
“Bahkan ditemukan adanya kontrak di atas kontrak, seperti yang terjadi di Peru. Temuan ini terjadi karena lemahnya pencegahan, penindakan dan pengawasan dari berbagai pihak terkait. Dalam kaitan ini, ada 39 awak kapal yang menjadi narasumber Rumoh Transparansi. Untuk itu, harus ada perbaikan tata kelola bagi pekerja migran tersebut,” lanjutnya.
Menanggapi temuan ini, Kepala BP3MI Aceh Drs Jaka Prasetiyono MSi mengakui adanya permasalahan yang terjadi menandakan negara belum sepenuhnya hadir melindungi pahlawan devisa. Dia juga menyampaikan keseriusan Kepala BP3MI RI melindungi pekerja migran Indonesia. Tenaga kerja migran adalah penyumbang devisa negara kedua tertinggi setelah migas. “Karenanya kami berharap semua pihak terkait turut melindungi dan menyejahterakan mereka,” harapnya.
Dia menjelaskan, BP3MI bertindak berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Dalam aturan tersebut diatur kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah. “Pasal 40 itu mengatur kewenangan provinsi, pasal 41 kewenangan pemerintah kabupaten/kota, dan pasal 42 mengatur kewenangan pemerintah desa,” jelasnya.
Lebih lanjut Jaka Prasetiyono mengatakan, baru empat kabupaten/kota di Aceh yang membuat MoU dengan BP3MI yaitu Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Barat dan Aceh Tengah. Beberapa pemerintah kabupaten/kota sedang berproses melakukan koordinasi dan pembahasan. “Namun, sungguh disayangkan, sudah lima tahun UU tersebut disahkan, masih banyak pemerintah kabupaten/kota yang belum menetapkan juknis lebih lanjut untuk perlindungan pekerja migran,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama mengatakan, langkah yang tepat koordinasi antar pihak dilakukan, sebab isu pelanggaran HAM bagi awak kapal pekerja migran masih tergolong baru, namun penting dicermati dan ditangani. Tidak hanya memerlukan penyelesaian kasus yang terjadi, tapi diperlukan juga pencegahannya. “Kita harus berbagi peran merancang upaya-upaya yang bisa kita dilakukan segera,” sebutnya.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty SE Ak MPA mengatakan, isu pekerja migran awak kapal, baik kapal perikanan maupun kapal niaga merupakan isu pelayanan publik yang belum pernah dicermati khusus oleh Ombudsman RI Perwakilan Aceh. Untuk ini, Ombudsman RI akan menindaklanjuti permasalahan tersebut melalui narahubung pada pemerintah daerah untuk memastikan MoU dan PKS dengan kepala daerah dapat dilakukan segera.
Dalam kaitan ini, tegas Dian, akan ada beberapa titik sidak yang mungkin dilakukan oleh Ombudsman. “Seperti gayung bersambut, hasil koordinasi atas rakor ini akan kita sampaikan kepada pimpinan Ombudsman RI di Pusat, yang ternyata juga telah mengagendakan pertemuan dengan BP3MI minggu depan,” kata Dian. (Cek Man/Sayed M. Husen)