Opini  

Memakmurkan Masjid Raya, Menghidupkan Peradaban

Oleh: Irwanda M. Djamil, S.Ag | Kabid Dakwah DSI Kota Banda Aceh

Irwanda M. Jamil, S.Ag, Kepala Bidang Dakwah Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh. (FOTO: Dok. DSI Kota Banda Aceh)

Kabarnanggroe.com, Masjid Raya Baiturrahman dan masjid-masjid lain di Aceh bukanlah sekadar bangunan megah yang menancap di tanah. Ia adalah simbol, ia adalah pusat denyut kehidupan umat, ia adalah mercusuar yang seharusnya memancarkan cahaya peradaban Islam ke seluruh penjuru negeri. Namun pertanyaan besar muncul: apakah kita hari ini sudah benar-benar memakmurkan masjid, ataukah hanya menjadikannya monumen bersejarah untuk dilihat wisatawan?

Masjid dalam Sejarah Islam

Sejarah mencatat, masjid bukanlah ruang sunyi untuk ibadah semata. Dari Masjid Nabawi, Rasulullah saw membangun sebuah pusat peradaban. Dari situlah lahir kebijakan politik, strategi militer, pendidikan, pengelolaan ekonomi, hingga penguatan sosial. Masjid adalah universitas pertama umat Islam, kantor pertama pemerintahan Islam, sekaligus tempat di mana para sahabat menundukkan kepala mereka serendah-rendahnya di hadapan Sang Pencipta.

Ketika Islam menaklukkan Andalusia, masjid berdiri megah di Cordoba sebagai pusat ilmu pengetahuan yang melahirkan para ilmuwan dunia. Dari Baghdad hingga Damaskus, dari Kairo hingga Samarkand, masjid menjadi titik pertemuan para ulama, filosof, ahli fikih, astronom, matematikawan, dan masyarakat luas. Semua mengalir ke masjid karena di situlah ilmu dan cahaya peradaban bersinar.

Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. (FOTO: Ist)

Masjid Aceh: Antara Romantisme dan Tanggung Jawab

Aceh memiliki warisan masjid yang luar biasa. Masjid Raya Baiturrahman bukan hanya saksi bisu kolonialisme Belanda, tapi juga simbol keteguhan umat Islam Aceh. Namun, apakah hari ini ia hanya berfungsi sebagai latar swafoto wisatawan? Apakah ia hanya simbol fisik kebanggaan, sementara ruhnya sepi dari visi besar peradaban?

Kita harus jujur, banyak masjid di Aceh yang hanya ramai saat Ramadhan, saat Jumatan, atau saat acara seremonial. Selebihnya, masjid sepi, majelis ilmu jarang, program pemberdayaan minim, dan generasi muda tidak merasa terikat untuk menjadikan masjid pusat aktivitasnya. Padahal, sejarah telah menunjukkan: ketika masjid dihidupkan dengan ilmu, dakwah, dan pengelolaan umat, maka lahirlah peradaban yang gemilang.

Tiga Pilar Memakmurkan Masjid

1. Masjid sebagai Pusat Pendidikan

Masjid harus menjadi sekolah peradaban. Bukan hanya pengajian rutin, tapi forum diskusi, halaqah ilmu, kursus keahlian, hingga ruang riset sederhana yang menumbuhkan kecintaananakmudakepadailmu. Generasi emas Aceh harus lahir dari mimbar masjid, bukan dari tempat yang asing dari ruh Islam.

2. Masjid sebagai Pusat Ekonomi Umat

Sejarah mencatat masjid juga menjadi pusat pengelolaan zakat, infaq, wakaf, dan sedekah. Jika dana umat dikelola dengan profesional, masjid bisa membantu fakir miskin, mendukung UMKM syariah, hingga menjadi basis ketahanan ekonomi masyarakat. Masjid harus berani keluar dari sekadar kotak infak mingguan menuju manajemen ekonomi yang berdaya.

3. Masjid sebagai Simbol Ketundukan

Tak peduli setinggi apa ilmu seseorang, setinggi apa jabatan, sehebat apa kekayaan, ketika masuk ke masjid ia menundukkan kepala lebih rendah dari pantatnya sendiri. Itulah simbol hakiki masjid: tempat melumat kesombongan, tempat melebur ego, tempat menyerahkan segala keangkuhan kepada Allah. Aceh membutuhkan generasi yang tunduk total kepada Allah, agar kepintaran mereka tidak melahirkan kesombongan, tetapi peradaban yang mengangkat martabat umat.

Menjadikan Masjid Mercusuar Peradaban

Jika Aceh ingin bangkit, maka masjid harus kembali menjadi mercusuar. Masjid Raya Baiturrahman dan masjid-masjid lain di Aceh jangan hanya berhenti sebagai ikon arsitektur, tapi harus hidup sebagai pusat pergerakan umat. Pemerintah, ulama, akademisi, mahasiswa, pengusaha, dan rakyat biasa harus menjadikan masjid sebagai titik temu, bukan hanya untuk ibadah ritual, tetapi juga untuk merumuskan solusi atas masalah umat.

Sejarah Islam mengajarkan, ketika masjid dimuliakan, peradaban akan berdiri megah. Ketika masjid dipinggirkan, umat akan terpuruk. Kini, pilihan ada di tangan kita: membiarkan masjid-masjid Aceh sunyi dan kering, atau menghidupkannya kembali hingga cahaya Islam memancar ke seluruh penjuru dunia. (*)

 

 

Exit mobile version