Opini  

Banjir Aceh Luka Kolektif setelah Bangkit dari Tsunami

Oleh Hamdani Mulya (Guru SMAN 1 Lhokseumawe)

Kabarnanggroe.com, Sejarah Aceh adalah sejarah luka dan kebangkitan. Dua dekade silam, dunia menyaksikan bagaimana gelombang tsunami 2004 menyapu pesisir Aceh, meninggalkan duka mendalam yang tak terhapus oleh waktu. Namun, pada penghujung tahun 2025, tanah Rencong kembali diguncang oleh bencana banjir besar yang melanda 16 kabupaten/kota, menelan korban jiwa, menghancurkan rumah, dan memaksa puluhan ribu orang mengungsi. Banjir ini disebut oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf sebagai “tsunami kedua”, sebuah metafora yang menegaskan betapa besar luka kolektif yang kembali dirasakan.

Tulisan ini mencoba menelusuri jejak penderitaan dan kebangkitan masyarakat Aceh, menghubungkan tragedi tsunami dengan banjir, serta menimbang makna sabar dan daya juang dalam menghadapi bencana berulang.

Luka Kolektif Dari Tsunami ke Banjir
Tsunami 2004 menewaskan lebih dari 170.000 jiwa di Aceh. Luka itu masih membekas dalam ingatan kolektif. Kini, banjir 2025 menambah catatan duka dengan korban meninggal mencapai lebih dari 170 orang, 20.000 lebih mengungsi, dan hampir 120.000 jiwa terdampak. Air bah yang datang setelah hujan delapan hari delapan malam (menurut Viva.co.id) bukan sekadar fenomena alam, melainkan ujian sosial, ekonomi, dan psikologis.

Banjir bandang merendam desa-desa, memutus akses jalan, dan menghancurkan infrastruktur. Gambaran rumah hanyut, sawah terendam, serta anak-anak yang kehilangan tempat belajar menjadi simbol luka kolektif. Luka ini bukan hanya fisik, tetapi juga batin, trauma lama kembali terkuak, rasa takut kembali menyeruak.

Dimensi Sosial dan Ekonomi
Bencana banjir memperlihatkan rapuhnya struktur sosial-ekonomi Aceh. Ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian, terutama petani dan pedagang. Infrastruktur publik lumpuh, akses kesehatan terganggu, dan sekolah-sekolah terendam. BNPB mencatat status darurat bencana ditetapkan selama 14 hari sejak 28 November hingga 11 Desember 2025.

Namun, di balik kehancuran, solidaritas kembali tumbuh. Relawan, lembaga swadaya, dan masyarakat bahu-membahu menolong sesama. Aceh kembali menunjukkan bahwa luka kolektif dapat menjadi perekat sosial, menghidupkan semangat gotong royong yang pernah menjadi modal utama saat bangkit dari tsunami.

Refleksi Historis Sejarah yang Berulang
Sejarah Aceh adalah sejarah ujian. Tsunami 2004 dan banjir 2025 adalah dua peristiwa berbeda, tetapi keduanya menegaskan bahwa manusia tak pernah benar-benar berkuasa atas alam.

Banjir kali ini mengingatkan bahwa pembangunan pasca-tsunami belum sepenuhnya memperhitungkan daya dukung lingkungan. Alih fungsi lahan, lemahnya tata kelola hutan, dan eksploitasi sumber daya alam memperparah dampak banjir. Maka, bencana bukan hanya fenomena alam, tetapi juga hasil interaksi manusia dengan lingkungannya.

Cara Bangkit dengan Sabar dan Ikhtiar
Bangkit dari bencana bukan sekadar membangun kembali rumah dan jalan. Bangkit adalah proses panjang yang melibatkan kesabaran, ikhtiar, dan solidaritas. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh:
Sabar sebagai sikap kolektif, masyarakat Aceh telah membuktikan bahwa sabar bukan pasrah, melainkan kekuatan moral untuk bertahan.

Pendidikan kebencanaan, trauma tsunami melahirkan kesadaran mitigasi. Kini, banjir harus menjadi pelajaran baru agar masyarakat lebih siap menghadapi bencana hidrometeorologi.

Penguatan ekonomi lokal, bantuan darurat harus diikuti dengan program pemulihan ekonomi berbasis komunitas, agar masyarakat tidak bergantung pada bantuan jangka pendek.

Restorasi lingkungan, banjir adalah alarm ekologis. Rehabilitasi hutan, pengendalian alih fungsi lahan, dan tata ruang berkelanjutan adalah ikhtiar yang tak bisa ditunda.

Solidaritas lintas generasi, anak-anak Aceh yang tumbuh setelah tsunami kini menyaksikan banjir. Mereka harus dibekali dengan nilai sabar, gotong royong, dan ilmu pengetahuan agar menjadi generasi tangguh.

Kesimpulan
Banjir Aceh 2025 adalah luka kolektif setelah bangkit dari tsunami. Luka ini memperlihatkan rapuhnya manusia di hadapan alam, sekaligus menegaskan kekuatan sabar dan solidaritas. Aceh kembali diuji, tetapi sejarah menunjukkan bahwa dari luka lahir kebangkitan.

Hari itu mungkin tak terduga, tetapi sabar adalah jalan yang tepat. Maka, banjir bukan akhir, melainkan awal dari kebangkitan baru. Aceh akan kembali berdiri, sebagaimana ia pernah bangkit dari gelombang tsunami.

Aceh Utara, 11 Desember 2025

Exit mobile version