Kuala Simpang – Istana Benua Raja, sebuah bangunan tua bersejarah peninggalan Kerajaan Benua Tunu yang berlokasi di Desa Benua Raja, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang masih terawat dengan baik dan berfungsi sebagai kediaman ahli waris kerajaan, sekaligus ditetapkan sebagai cagar budaya nasional.
Bangunannya memiliki arsitektur khas Melayu yang sederhana namun kaya akan nilai sejarah dan budaya Benua Tamiang, salah satu kerajaan Islam Melayu terbesar di wilayah tersebut. Istana ini berfungsi sebagai kediaman pribadi ahli waris kerajaan saat ini dan telah ditetapkan sebagai cagar budaya.
Arsitektur bangunannya mencerminkan gaya khas Melayu, dan meskipun sederhana, istana ini memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Dengan lokasinya tidak jauh dari Kota Kuala Simpang, maka cukup mudah mengunjunginya, dekat kawasan komplek karyawan Pertamina Rantau.
Mengingat istana ini juga merupakan kediaman pribadi, pengunjung disarankan untuk tetap menghormati privasi penghuni dan mengonfirmasi jam buka atau aturan kunjungan terbaru dengan pihak pengelola atau ahli waris secara langsung untuk memastikan akses yang lancar.
Kompleks istana ini terdiri dari dua bangunan, yaitu bangunan utama istana dan pendopo kerajaan dengan bangunan utama ini bergaya arsitektur Belanda, dibangun dari beton dengan atap genting, khas tempo dulu dan di samping istana terdapat satu bangunan semi permanen.
Di situlah pendopo dan di sana sang raja selalu memimpin pertemuan kenegaraan dengan para ulee balang yang memimpin wilayah lebih kecil atau jika saat ini disebut dengan camat. “Misalnya bertemu panglima perang dan petinggi kerajaan, para datuk dan raja-raja kecil lainnya juga ketemu di pendopo dengan raja,” kata Tengku Muhammad David yang akrab disapa Iboy, cucu keturunan Raja Sulong, raja terakhir Kerajaan Benua Raja kepada media nasional pada 2017 silam.
Iboy, putra dari Tengku Mustafa Kamal akrab disapa Tengku Ipang. Sedangkan Tengku Ipang merupakan putra keenam Raja Sulong, pewaris tahta terakhir kerajaan. Sedangkan Raja Sulong, adalah raja ke-13 yang berkuasa dari 1933 sampai 1945. Dalam literatur lain disebutkan Raja Sulong merupakan raja ke-17 pada silsilah kerajaan itu dengan bangunan utama kerajaan terdiri dari enam kamar.
Begitu juga dengan pendopo ditempati oleh keluarga lainnya. Cucu raja ini membangun rumah persis di sisi kanan bangunan kerajaan. Bagian belakang istana terdapat dapur dan sejumlah kamar kecil. “Itu bangunan untuk pembantu kerajaan,” terangnya.
Pada sisi kanan kerajaan terdapat kompleks kandang kuda raja. Sedangkan di sudut belakang terdapat kolam kecil yang konon, menurut Iboy, lokasi pemeliharaan buaya putih kesayangan raja.
Menurutnya, dokumen kerajaan tersebar di sejumlah keluarga kerajaan. Sedangkan baju kebesaran raja, stempel kerajaan dikenal dengan sebutan cap sikureung, pisau tumbok lada (senjata kebanggaan kerajaan) dan tongkat raja dipegang olehnya.
“Saya yang simpan kalau capnya (stempel) kerajaan. Sebelum ayah saya meninggal tahun 2007 lalu, itu diberikan ke saya. Sekarang saya yang simpan,” katanya. Pada bagian depan tertulis papan nama yang dibangun oleh Dinas Pariwisata Provinsi Aceh tahun 2007.
Lokasi makam Raja Sulong berada di Desa Bukit Tempurung, Kota Kuala Simpang, sekitar lima kilometer dari kompleks istana. “Itu makam juga berada di tanah keluarga. Juga dikelola oleh keluarga,” ujarnya.
Sekali waktu, sambung Iboy, sejumlah guru dan murid sekolah dasar berkunjung ke istana itu. Sedangkan kunjungan lainnya relatif sepi. “Kami masih mengelola sendiri semampu kami peninggalan sejarah ini. Padahal ini kerajaan terbesar di Aceh Tamiang. Kita punya referensi surat-surat raja tempo dulu,,” terangnya.
Sementara itu, kerajaan di tanah Bumi Muda Sedia ini tetap bernuansa dengan adat istiadat Melayu yang terus menjadi pegangan masyarakat suku Tamiang saat ini yang dituangkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pada acara-acara adat, perkawinan dan lainnya, bahkan baju tradisional tetap berkhaskan adat Melalu.
Namun, istana ini dibangun pada masa Sultan Badelisah pada 1928, mengambil gaya arsitektur Eropa dan Istana ini bisa juga disebut sebagai peninggalan Kerajaan Benua Raja. Meskipun berbentuk seperti rumah bergaya Belanda, istana yang dulunya ditinggali Tengku Raja Sulung ini sangat indah.
Tidak heran, banyak wisatawan yang ingin berkunjung dan berfoto di lokasi wisata ini. Objek wisata bersejarah ini juga termasuk sebagai peninggalan Kerajaan Islam yang ada di Aceh. Bahkan, Istana ini boleh dikatakan sebagai yang paling tua setelah Kesultanan Perlak.
Sebagai perbandingan, Istana indah ini dibangun ketika Tuanku Sultan Muda Seudia, yakni Sultan Pertama yang masa pemerintahannya antara 1330 – 1352. Meski sudah puluhan tahun berlalu, namun kekuatan bangunannya sangat baik.
Cagar budaya ini ini masih berhubungan juga dengan Kerajaan Karang. Pasalnya, kedua kerajaan tersebut sama-sama terletak di wilayah Kabupaten Aceh Tamiang. Tamiang sendiri terbagi menjadi Kerajaan Benua Tunu dan Kerajaan Karang, namun Negeri Karang yang memegang puncak kekuasaan kedua kerajaan tersebut.
Nah, bagi generasi muda yang ingin mengetahui kondisi langsung Istana Benua Raja, maka dapat mendatangi pada hari-hari kerja, apalagi ada penghuni yang mendapat istana sebagai tempat kediamannya, yakni ahli waris kerajaan.(Adv)
