Perjuangan Seorang Ayah Bantu Putrinya, Penyandang Grahita

Adi Ikhsan, ayah dari putrinya penyandang grahita berbicara dengan media Pos Aceh di sela-sela peringatan Hari Disabilitas Internasional di aula lantai 4 Gedung Perpustakaan Wilayah Provinsi Aceh, Banda Aceh, Sabtu (7/12/2024) pagi. FOTO/MUHAMMAD NUR

Kabarnanggroe.com, Banda Aceh – Dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional di aula lantai 4 Gedung Perpustakaan Wilayah Provinsi Aceh, Banda Aceh, Sabtu (7/12/2024) pagi, seorang ayah membawa putrinya, penyandang grahita. Sang bunda telah meninggalkannya selama-selamanya sekitar tiga pekan lalu, sehingga hanya sang ayah yang ikut serta.

“Hanya saya yang mendampingi putri saya dalam acara ini,” kata Adi Ikhsan (45) di sela-sela peringatan Hari Disabilitas Internasional di aula lantai 4 Gedung Perpustakaan Wilayah Provinsi Aceh, Banda Aceh, Sabtu (7/12/2024) pagi. Dia mengatakan biasanya, istrinya yang mendampingi putrinya bernama Quratun Aqyunin (14) dalam berbagai acara penyandang disabilitas, termasuk saat mengunjungi tempatnya bersekolah di YPAC Santan.

Adi mengakui putrinya sempat terpukul seusai mengetahui ibunya sudah meninggal dunia, sehingga dirinya harus menghiburnya agar tidak berlarut-larut dalam duka. “Kami tinggal di Sibreh bersama nenek Yuni dari pihak ibunya” ujarnya yang mengaku berasal dari Keutapang, Aceh Besar.

Dia menambahkan anaknya hanya satu orang yang awalnya lahir dalam kondisi normal. Dirinya baru mengetahui saat putrinya masuk Sekolah Dasar (SD), dimana guru menyebut Yuni lamban dalam berpikir atau memiliki IQ rendah dan menyarankan dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB).

Adi bersama istrinya (alm) membawa ke SLB YPAC di Santan, Aceh Besar untuk bersekolah dari kelas satu SD dan saat ini sudah duduk di bangku kelas 2 SMP. Dia menyebutkan putrinya lamban dalam berpikir, tetapi untuk hapalan lancar di luar kepala, seperti surat Yasin dan lainnya. Namun, untuk kerajinan tangan, motorik jarinya tidak bekerja, sehingga tidak bisa membuatnya.

“Secara umum terlihat normal, seperti anak lainnya, tetapi daya pikirnya yang rendah menjadikannya harus bersekolah di SLB,” tambahnya. Untuk hal lainnya, seperti membuka handphone atau masuk ke media sosial, putrinya seperti anak normal lainnya, lancar tanpa terkendala.

Adi yang mengaku bekerja sebagai tukang bangunan mengungkapkan putrinya hanya bisa berjalan-jalan di sekitar kampung, tetapi untuk keluar kampung belum bisa diberikan. “Kalau sekitar kampung, orang-orang pasti kenal, tetapi kalau di luar kampung, tentunya pasti mengkhawatirkan,” ujarnya.

Dia mengatakan sudah banyak perubahan yang dialami putrinya selama belajar di SLB YPAC Santan, sehingga tingkat kemandirian sudah mencapai 80 persen. “Alhamdulillah, putri saya sudah mulai mandiri dalam berbagai hal, sehingga tidak perlu dibantu lagi,” tuturnya, seraya menambahkan putrinya Yuni ikut menari di atas panggung dalam acara ini.(Muh)

Exit mobile version