Opini  

Memahami Dampak Sosial Saat Terjadi Bencana

Oleh Mugi Muryadi*

Mugi Muryadi (Foto: Dok. Pribadi)

Kabarnanggroe.com, TRAGEDI bencana alam tidak hanya meruntuhkan rumah dan jembatan. Ia juga merubuhkan batas antara harapan dan keputusasaan. Peristiwa banjir bandang serta longsor di Sibolga dan Tapanuli Tengah menunjukkan bagaimana masyarakat dapat terperangkap bukan hanya oleh material lumpur, tetapi juga oleh rasa lapar yang makin menekan ketika jalur utama terputus dan distribusi logistik berhenti. Akibatnya ribuan warga mendadak terisolasi dalam situasi tanpa kepastian. Dalam kondisi seperti itu, penderitaan tidak lagi menjadi konsep abstrak. Ia terasa dan nyata pada perut kosong, rumah hancur, kehilangan, dan rasa tidak aman.

Dalam keadaan terdesak itu sejumlah warga menyerbu minimarket dan gudang logistik. Rekaman video yang beredar di media sosial memperlihatkan orang-orang memaksa masuk ke bangunan yang sudah ringkih, lalu mengambil barang yang tersisa. Ada yang membawa beras, minyak, susu bayi, bahkan apa saja yang bisa memastikan keluarga mereka bertahan satu hari lagi.

Adegan itu terlihat seperti kejahatan. Namun jika dilihat lebih dekat, tindakan tersebut lahir dari kebutuhan paling dasar manusia. Menurut Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999), kelaparan adalah bentuk ketidakbebasan paling nyata yang dapat menghancurkan keputusan moral seseorang. Dalam situasi itu, pilihan etis tereduksi menjadi satu hal, yakni bertahan hidup.

Timbulkan Perdebatan

Fenomena seperti ini selalu menimbulkan perdebatan. Aparat keamanan di Sibolga dan Tapanuli Tengah mengaku telah berupaya menjaga fasilitas logistik, tetapi fokus mereka harus terbagi karena penanganan korban bencana. Ketika massa semakin banyak dan desakan kebutuhan pangan makin kuat, pengamanan tidak lagi mampu menahan kerumunan.

Para ahli perilaku pascabencana menyatakan bahwa ketika sistem distribusi kolaps dan kebutuhan dasar terancam, masyarakat cenderung bergerak secara spontan. Erik Auf der Heide dalam Disaster Response: Principles of Preparation and Coordination (2006) menekankan bahwa kepanikan pascabencana tidak selalu terjadi, tetapi perilaku kolektif yang didorong kebutuhan mendesak dapat muncul dalam bentuk pengambilan paksa barang kebutuhan pokok.

Situasi di Sibolga dan Tapanuli Tengah menunjukkan bahwa bencana alam berubah menjadi bencana sosial. Dalam Natural Hazards, UnNatural Disasters (World Bank, 2010), dijelaskan bahwa kerusakan infrastruktur distribusi dapat memperparah dampak sosial, terutama ketika bantuan tidak segera tiba. Jalan yang terputus, gudang yang tidak terakses, serta komunikasi yang terganggu membuat masyarakat terjebak dalam kondisi tanpa pilihan. Ketika pemerintah tidak hadir dalam waktu yang dianggap cukup, masyarakat akan menciptakan mekanisme bertahan sendiri. Ini tidak selalu sesuai aturan, tetapi merupakan reaksi manusiawi terhadap kelangkaan ekstrem.

Bencana tidak hanya mengungkap sisi rentan masyarakat, tetapi juga sisi solidaritasnya. Studi Robert Putnam dalam Bowling Alone (2000) menunjukkan bahwa modal sosial seperti kepercayaan, jaringan sosial, dan gotong royong adalah penopang penting dalam mengatasi situasi ekstrem. Di banyak desa, masyarakat bahu membahu membersihkan lumpur, mengevakuasi warga lanjut usia, dan berbagi makanan seadanya. Ketika negara terlambat hadir, komunitas biasanya menjadi garda terdepan pertolongan. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan masyarakat lokal masih menjadi fondasi penting dalam menghadapi bencana di Indonesia.

Meskipun demikian, solidaritas memiliki batas. Ketika stok makanan habis dan bantuan tak kunjung datang, solidaritas perlahan tergantikan oleh dorongan bertahan hidup masing-masing. Peter Singer dalam The Life You Can Save (2009) menegaskan bahwa naluri manusia untuk menyelamatkan diri dan keluarga selalu menjadi prioritas pertama, terutama ketika hidup terancam. Dalam konteks inilah peristiwa penjarahan perlu dipahami bukan sebagai tindak kriminal, tetapi sebagai gejala dari sistem bantuan yang gagal berjalan tepat waktu.

Negara memiliki peran penting untuk menjaga ketertiban sekaligus menjamin terpenuhinya hak dasar warga. Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa negara wajib hadir cepat dalam penyelamatan, perlindungan, serta pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak. Keterlambatan distribusi logistik yang terjadi di Sibolga menunjukkan adanya celah koordinasi yang perlu diperbaiki. Dalam situasi bencana, jam pertama dan hari pertama adalah waktu paling krusial. Setiap keterlambatan dapat menimbulkan dampak sosial yang tidak dapat diprediksi.

Dukungan Psikososial

Selain persoalan logistik, aspek psikologis juga perlu diperhatikan secara serius. Banyak warga kehilangan rumah, anggota keluarga, serta rasa aman. Jonathan Katz dalam Psychological First Aid (2012) menekankan bahwa trauma akibat bencana tidak hanya datang dari kerusakan fisik, tetapi juga dari kepanikan, ketidakpastian, dan keputusasaan. Ketika masyarakat dihadapkan pada ancaman kelaparan, stres psikologis meningkat dan kemampuan mengambil keputusan rasional menurun. Di sinilah dukungan psikososial perlu diberikan sejak masa tanggap darurat agar emosi warga tetap terkendali dan konflik dapat dicegah.

Penjarahan yang terjadi bukan hanya refleksi penderitaan individual, tetapi juga cerminan rapuhnya struktur sosial pascabencana. Konflik berpotensi muncul ketika masyarakat merasa aksesnya terhadap kebutuhan dasar tidak adil. Studi dari Johan Galtung dalam Peace by Peaceful Means (1996) menjelaskan bahwa kekerasan struktural termasuk kegagalan sistem dalam memenuhi kebutuhan dasar dapat mendorong kekerasan langsung dari masyarakat. Ini menjelaskan mengapa dalam beberapa situasi bencana, masyarakat bisa berubah dari korban menjadi pelaku tindakan yang melanggar hukum.

Peristiwa di Sibolga dan Tapanuli Tengah harus menjadi peringatan penting. Bencana bukan hanya peristiwa alam, tetapi juga ujian bagi kemanusiaan. Cara masyarakat merespons, cara pemerintah hadir, dan cara solidaritas bekerja menentukan apakah bencana akan berhenti pada kerusakan fisik atau berubah menjadi konflik sosial yang meninggalkan jejak jangka panjang. Pemerintah perlu membenahi sistem tanggap darurat agar distribusi bantuan dapat lebih cepat dan menyeluruh. Koordinasi antar lembaga perlu diperkuat agar tidak terjadi kekosongan penanganan.

Tragedi ini mengingatkan kita tentang rapuhnya kehidupan dan pentingnya kemanusiaan. Bencana memang menimbulkan penderitaan. Namun cara kita merespons dapat mengubah penderitaan itu menjadi momentum solidaritas atau sebaliknya menjadi pemicu kejahatan. Kita harus belajar melihat manusia sebagai manusia, terutama dalam krisis. Dalam konteks ini, mereka yang menjarah bukanlah penjahat. Mereka kelaparan dan putus asa.

Jika negara bergerak cepat, jika komunitas saling menguatkan, dan jika solidaritas menjadi bagian dari budaya, bencana tidak akan lagi berubah menjadi tragedi berlapis.

* Mugi Muryadipemerhati sosial dan kebencanaan, tinggal di Margaasih, Bandung, Jawa Barat.

Exit mobile version