Kabarnanggroe.com, Bayangkan di sebuah perpustakaan kecil pinggiran kota, seorang anak bernama Runa tenggelam dalam halaman buku “The Jungle Book” dalam sekejap, dunia nyata lenyap, ia bukan lagi anak SD biasa, melainkan seorang anak manusia yang dibesarkan oleh serigala di hutan India. Dengan bantuan teman-temannya seperti Baloo si beruang dan Bagheera si panter hitam, ia belajar bertahan hidup di alam liar sambil menghadapi ancaman dari Shere Khan si harimau. Cerita ini bukan fantasi belaka; ini adalah kekuatan perpustakaan anak yang sering kita abaikan.
Di sisi lain, ruangan yang penuh aroma kertas tua dan petualang yang tak berujung, tempat dimana anak-anak seperti superhero kecil berlari dan melompat kesana kemari. Perpustakaan anak bukan hanya sekedar gudang buku; ia adalah mesin waktu yang membawa imajinasi anak anak melampaui batas ruang dan waktu, bahkan di tengah badai digital yang menghantam layar ponsel mereka setiap hari. Di era dimana TikTok dan AI mendominasi layar anak-anak, perpustakaan anak adalah “mesin waktu” yang membawa mereka ke masa depan yang lebih cerah. Menurut saya, kita harus segera merevitalisasi perpustakaan anak sebagai prioritas nasional, Mari kita telusuri mengapa mesin waktu ini bukan nostalgia, melainkan senjata rahasia untuk generasi masa depan.
Perpustakaan anak adalah benteng melawan gelombang digital yang tak terkendali. Tren saat ini menunjukkan anak-anak Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam sehari di gadget, menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2023. Ini bukan hanya angka; ini adalah ancaman nyata terhadap perkembangan otak. Penelitian dari American Psychological Association (APA) pada 2022 membuktikan bahwa paparan literasi dini melalui buku meningkatkan kemampuan berpikir kritis hingga 30%, sementara anak yang hanya bergantung pada konten digital memiliki risiko gangguan fokus 25% lebih tinggi.
Bayangkan perpustakaan anak sebagai “pelindung” imajinasi: tempat di mana cerita seperti “Harry Potter” atau “Timun Mas” mengajarkan empati dan kreativitas, bukan hanya swipe dan like. Saya percaya ini adalah jawaban atas krisis kesehatan mental yang sedang mewabah, studi World Health Organization (WHO) pada 2024 menunjukkan bahwa anak dengan akses perpustakaan memiliki tingkat depresi 40% lebih rendah. Perpustakaan anak bukan pesaing digital melainkan adalah mitra yang membuat anak lebih cerdas dan bahagia, membuktikan bahwa buku bisa lebih menarik daripada layar berkilauan.
Namun, tantangan di Indonesia membuat hati ini miris. Hanya 28% sekolah dasar memiliki perpustakaan yang memadai, berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2024, dan di desa-desa, angka itu anjlok ke 15%. Ini memperburuk kesenjangan sosial, seperti yang diungkapkan laporan World Bank 2023: anak dari keluarga miskin 40% lebih jarang mengakses literasi, yang langsung berdampak pada produktivitas ekonomi jangka panjang. Tren global seperti e-sports dan AI bisa jadi peluang emas, bayangkan saja perpustakaan anak yang punya zona gaming edukatif atau aplikasi interaktif untuk cerita, bukankah itu sangat menarik?
Perpustakaan anak mengajarkan pelajaran mendalam tentang keseimbangan hidup. Di tengah badai digital, ia mengingatkan kita bahwa imajinasi adalah kekuatan sejati. Penelitian Harvard University 2021 menunjukkan bahwa anak yang aktif di perpustakaan memiliki kreativitas 35% lebih tinggi dan kemampuan problem-solving yang lebih baik, membuktikan bahwa buku membentuk pemikir masa depan. Cerita sukses seperti perpustakaan di Singapura, yang mengintegrasikan teknologi dengan literasi, adalah bukti bahwa mesin waktu ini bisa membawa anak-anak dari mimpi kecil ke inovasi besar.
Pada akhirnya, perpustakaan anak adalah mesin waktu yang tak boleh kita biarkan berkarat. Investasi literasi dini adalah fondasi bangsa yang kuat. Mari kita bangkitkan kembali oasis ini, baca bersama anak Anda, donasi buku, atau advokasi kebijakan. Bersama, kita ciptakan generasi yang tak hanya pintar, tapi juga bermimpi besar. Apa langkah pertama Anda hari ini?
“Literasi adalah kunci masa depan, bukan gadget.” Ini memberikan pelajaran baru bahwa di era digital, keseimbangan dengan literasi tradisional seperti perpustakaan anak adalah esensial untuk membangun imajinasi dan kecerdasan anak, bukan hanya mengandalkan teknologi.
*Penulis adalah Mahasiswi Prodi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
