Mewujudkan Kemandirian Listrik Aceh, Antara Potensi dan Tantangan

Oleh Musriadi*

Dr. Musriadi, S.Pd., M.Pd., Wakil Ketua DPRK Banda Aceh (Foto: Dok. DPRK Banda Aceh)

Kabarnanggroe.com, Ketersediaan listrik yang stabil merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat modern, termasuk masyarakat Aceh. Tanpa listrik yang memadai, berbagai sektor kehidupan – mulai dari pendidikan, kesehatan, industri, hingga aktivitas rumah tangga – akan terganggu. Sayangnya, hingga kini Aceh masih sering menghadapi persoalan pemadaman bergilir. Kondisi ini menimbulkan ketidaknyamanan dan merugikan, baik secara ekonomi maupun sosial.

Penyebab utama persoalan ini adalah masih bergantungnya sistem kelistrikan Aceh pada interkoneksi Sumatera. Artinya, setiap terjadi gangguan di luar Aceh, dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat di provinsi ini. Ketergantungan semacam ini jelas melemahkan posisi Aceh dalam hal ketahanan energi. Sebuah daerah yang kaya sumber daya energi justru belum mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan listriknya sendiri.

Penulis menggunakan waktu senggang dengan membaca buku. (Foto: Dok. DPRK Banda Aceh)

Potensi Luar Biasa

Padahal, jika kita menengok lebih dalam, Aceh memiliki potensi energi yang luar biasa. Gunung Seulawah misalnya, menyimpan cadangan panas bumi (geothermal) yang bisa dikembangkan menjadi pembangkit listrik berkapasitas besar. Belum lagi potensi tenaga air dari sungai-sungai besar yang mengalir di wilayah Aceh. Sumber energi ini bersifat terbarukan, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Selain itu, Aceh juga memiliki intensitas cahaya matahari yang tinggi, yang sangat cocok untuk pengembangan energi surya. Jika seluruh potensi ini dimaksimalkan, Aceh bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan listriknya sendiri, tetapi juga berpeluang menjadi lumbung energi untuk wilayah lain di Sumatera bahkan Indonesia.

Namun, potensi besar tersebut masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah tata kelola energi yang masih sangat terpusat di Jakarta. PLN Aceh, sebagai operator lapangan, seringkali memiliki ruang gerak yang terbatas untuk berinovasi atau mengambil langkah strategis sesuai kebutuhan lokal. Akibatnya, Aceh seperti kehilangan kendali atas sumber daya alamnya sendiri. Situasi ini membuat daerah hanya menjadi penonton, sementara nilai tambah dari pengelolaan energi lebih banyak mengalir ke pusat.

Karena itu, desentralisasi energi perlu menjadi agenda penting. Aceh harus diberikan kewenangan lebih besar dalam mengelola sumber daya alamnya, termasuk sektor energi. Hal ini sejalan dengan semangat otonomi khusus yang selama ini menjadi dasar hubungan antara Aceh dan pemerintah pusat. Dengan kewenangan yang memadai, pemerintah Aceh dapat mengundang investor, merancang kebijakan khusus, dan membangun infrastruktur energi sesuai dengan kebutuhan serta potensi lokal.

Kebutuhan Mendesak

Sebagai wakil rakyat, saya menegaskan bahwa Aceh tidak boleh terus-menerus menjadi penonton di tanah sendiri. Potensi energi yang kita miliki harus benar-benar dikelola untuk kepentingan rakyat Aceh. Kemandirian energi bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan mendesak yang menyangkut kesejahteraan masyarakat. Listrik yang stabil akan mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja baru, dan membuka ruang bagi berkembangnya sektor industri.

Selain itu, kemandirian energi juga akan memperkuat daya saing Aceh. Provinsi ini memiliki peluang besar untuk menjadi pusat pertumbuhan baru di wilayah barat Indonesia. Namun, semua itu tidak akan terwujud jika listrik masih menjadi masalah klasik yang tak kunjung teratasi. Dengan listrik yang cukup, stabil, dan terjangkau, investor akan lebih percaya diri menanamkan modalnya di Aceh.

Untuk itu, DPRK Banda Aceh mendorong agar pemerintah pusat, pemerintah daerah, PLN, serta para investor dapat membangun visi bersama dalam mewujudkan kemandirian energi. Visi ini harus diwujudkan dalam bentuk program nyata, mulai dari pembangunan pembangkit berbasis energi terbarukan, perbaikan jaringan distribusi, hingga kebijakan yang mendukung efisiensi dan transparansi.

Masyarakat juga perlu didorong untuk ikut berpartisipasi dalam gerakan kemandirian energi, misalnya melalui pemanfaatan panel surya di rumah tangga maupun fasilitas publik. Dengan begitu, kemandirian energi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau swasta, melainkan menjadi gerakan bersama seluruh rakyat Aceh.

Pada akhirnya, listrik yang stabil, terjangkau, dan mandiri adalah hak rakyat Aceh. Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, PLN, investor, dan masyarakat, kita mampu membuktikan bahwa energi Aceh bisa dikelola oleh Aceh, untuk kemajuan Aceh.

Inilah komitmen yang harus terus diperjuangkan, agar generasi mendatang tidak lagi hidup dalam bayang-bayang pemadaman bergilir, melainkan tumbuh dalam terang kemerdekaan energi. Semoga!

* Dr. MusriadiS.Pd., M.Pd., Wakil Ketua DPRK Banda Aceh.

Exit mobile version