Kabarnanggroe.com, Rencana pembentukan empat batalyon baru Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Aceh bukan hanya keputusan strategis yang keliru, melainkan simbol pengkhianatan terhadap perjanjian damai yang telah disepakati hampir dua dekade lalu. Langkah ini menyingkap wajah negara yang tak pernah sungguh-sungguh berdamai dengan Aceh.
Penambahan batalyon tersebut, jika ditilik lebih dalam, bukanlah jawaban atas kebutuhan keamanan, karena faktanya Aceh bukan daerah konflik. Tidak ada gangguan bersenjata, tidak ada kekacauan sipil, tidak ada alasan logis yang membenarkan hadirnya tambahan kekuatan militer. Maka, publik Aceh berhak curiga bahwa ini adalah bentuk intimidasi sistematis, cara halus untuk menancapkan kembali kuku kekuasaan pusat di tanah yang dulu berdarah demi kata “merdeka”.
Langkah ini adalah pelanggaran terhadap MoU Helsinki 2005, sebuah kesepakatan internasional yang dengan jelas membatasi jumlah pasukan militer di Aceh secara proporsional. Penambahan batalyon bisa dikategorikan sebagai pelanggaran nyata terhadap butir-butir perjanjian damai. Artinya, negara sendiri yang sedang mengoyak janji yang ditandatanganinya.
Pertanyaannya, sampai kapan Aceh harus menjadi objek eksperimen militer? Apakah yang dibutuhkan oleh rakyat Aceh hari ini adalah pasukan bersenjata, atau justru pembukaan lapangan kerja, pembangunan ekonomi, dan penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu?
Jangan salahkan rakyat Aceh jika suatu hari nanti mereka merasa dikhianati dan kembali menoleh ke sejarah kelam yang seharusnya sudah dikubur bersama MoU Helsinki. Sikap Jakarta yang cenderung memaksakan kehendak tanpa mendengar aspirasi daerah hanya akan membuka luka lama, menyuburkan ketidakpercayaan, dan membahayakan integrasi nasional.
Saya mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut rencana ini. Bukan hanya karena melanggar kesepakatan damai, tetapi juga karena bertentangan dengan nurani dan kepentingan rakyat Aceh yang hari ini lebih membutuhkan keadilan sosial ketimbang derap sepatu lars.
Aceh tidak butuh batalyon. Aceh butuh keadilan.