Kabarnanggroe.com, BANJIR besar yang melanda sebagian besar wilayah Sumatera dalam pekan ini, membuat kita kembali berpikir, kerusakan hutan di sepanjang Sumatera telah mengancam jutaan penduduk. Dari Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera barat terjadi banjir bandang, longsor, dan luapan sungai merupakan bencana ekologis akibat aktivitas pengerusakan hutan yang sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan.
Berdasarkan analisis Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dalam platform mapbiomas.org, perubahan penutupan lahan di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah sejak 1990 hingga 2024, menunjukan hasil signifikan. Dalam lebih dari tiga dekade wilayah ini kehilangan 46.640 hektare hutan alam.
Berdasarkan laman resmi Kementerian Keuangan, sebenarnya Pemerintah Indonesia
pernah menerbitkan sebuah instrumen pembiayaan hijau, yaitu Green Sukuk.
Pembiayaan Tematik
Green Sukuk adalah sebuah instrumen pembiayaan tematik yang diterbitkan Pemerintah Indonesia yang berfokus pada pembiayaan proyek-proyek hijau dan berkelanjutan. Sesuai dengan namanya, Green Sukuk diterbitkan dengan prinsip-prinsip syariah.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan berhasil menerbitkan Green Sukuk pertama di Dunia pada tanggal 1 Maret 2018. Green Sukuk ini pun telah mendapatkan 14 penghargaan internasional.
Namun, jika dilansir dalam laman djppr.kemenkeu.go.id sebagian besar pendanaan Green Sukuk masih terkonsentrasi pada proyek berbasis infrastruktur hijau di Jawa dan Sulawesi seperti pembuatan transportasi massal, proyek energi ramah lingkungan, pembuatan waduk, dan pengelolaan limbah industri.
Melihat kondisi Sumatera hari ini, Green Sukuk memiliki peluang besar untuk memitigasi risiko ekologis di pulau Sumatera. Pemerintah sebaiknya mengarahkan pendanaan Green Sukuk pada proyek Reboisasi dan pemeliharaan hutan di Sumatera. Investasi ini bukan hanya fokus pada sisi ekologis tetapi juga menyentuh keselamatan masyarakat dan makhluk hidup lain yang berada dalam kawasan hutan sumatera.
Penanaman kembali hutan yang gundul atau disebut reboisasi merupakan mitigasi iklim dengan dampak jangka panjang. Reboisasi pada hutan lindung maupun hutan produksi diharapkan dapat menurunkan risiko banjir, longsor, dan kekeringan. Ekosistem hutan Sumatera merupakan ekosistem yang unik karena mencakup hutan hujan tropis, gambut, kawasan konservasi dan aliran sungai vital sehingga menjadikannya salah satu paru-paru dunia.
Pada wilayah Asia Tenggara sendiri, Indonesia merupakan negara penghasil hutan hujan tropis terbesar. Hutan Hujan tropis tersebut antara lain: (1) Hutan Hujan Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh dan Sumatera Utara, (2) Hutan Hujan Taman Nasional Kerinci Seblat – Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan, (3) Hutan Hujan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan – Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Selatan, (4) Hutan Hujan Taman Nasional Gunung Palung – Kalimantan Barat, (5) Hutan Hujan Taman Nasional Tanjung Puting – Kalimantan Tengah, (6) Hutan Hujan Taman Nasional Lorentz – Papua, (7) Hutan Hujan Taman Nasional Manokwari Selatan – Papua Barat. Tiga diantara Tujuh hutan hujan tropis tersebut berada di wilayah Pulau Sumatera.
Perlu Ditangani Serius
Bencana di Pulau Sumatera ini perlu ditangani dengan segera dan serius. Reboisasi butuh pembiayaan jangka panjang. Instrumen pembiayaan pasar seperti Sukuk memungkinkan pendanaan multi-year tanpa membebani APBD.
Selain itu, reboisasi hutan Sumatera dapat dikemas sebagai proyek “Nature-based solution” yang dapat menarik investor global yang peduli dengan proyek berbasis alam. Pemerintah dapat mengalokasikan satu cluster khusus untuk proyek ini, seperti “Sumatera Reforestation Sukuk Project” dalam Green Sukuk. Cluster ini dapat diarahkan langsung unruk Rehabilitasi hutan Lindung, Restorasi gambut, penanaman kembali hutan produksi, pembangunan persemaian modern, dan pemulihan Daerah Aliran Sungai. Kegiatan ini masuk dalam kriteria “Sustainable Management of Natural Resources” dalam kerangka kerja Green Sukuk Indonesia.
Green Sukuk sendiri dapat memperbesar kapasitas reboisasi yang selama ini terbatas pada APBN. Pendanaan reboisasi sendiri dapat dirancang untuk memberdayakan masyarakat lokal sebagai penanam bibit, penjaga hutan, pengelola kebun bibit, dan pemelihara hutan yang memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi khususnya di pulau Sumatera sehingga memberikan manfaat sosial ganda.
Dalam fungsi pengawasannya dapat menggunakan pengawasan berbasis digital yang dapat diawasi melalui Citra Satelit, GPS Tracking untuk area tanam, dan pelaporan tahunan berbasis dashboard yang dapat diakses publik. Pengawasan ini memperkuat transparasi khususnya bagi investor yang peduli dengan alam.
Banjir Sumatera bukan sekedar bencana alam. Ini adalah alarm ekologis yang menguatkan bahwa Green Sukuk yang telah ada dapat digunakan untuk kebutuhan masyarakat yaitu reboisasi dan pemulihan hutan Sumatera. Sudah saatnya Green Sukuk tidak hanya fokus pada pengelolaan kota besar, namun juga menghijaukan kembali masa depan hutan Sumatera.
* Anita Pratiwi, MM., Alumnus Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
